Komunike Jaringan Individual Bojonegoro Atas Serangkaian Teror Vandalisme di Bojonegoro.

Komunike Jaringan Individual Bojonegoro Atas Serangkaian Teror Vandalisme di Bojonegoro.

lihatlah batasan batasan itu, jangan bernafas! Jangan mencinta! Jangan mogok!, jangan bikin ulah! POKOKNYA JANGAN!. Politikus, pemimpin, kaum kaya, bos bos besar sedang berkuasa. MEREKA YANG MENGONTROL. KITA, RAKYAT YANG MENDERITA. MEREKA mencoba membuat kita sebagai fungsi semata dalam proses produksi. MEREKA mencemari dunia dengan limbah kima pabrik pabriknya. MEREKA jejalkan sampah medianya ke tenggorokan kita. MEREKA jadikan kita karikatur seksual yang absurd, kita semua, pria dan wanita. Ada sejenis professional yang mengaku mewakili kita yaitu para menteri, partai partai sialan , bahkan kiri baheula. Semua orang ini mengaku mengaku bertindak demi kepentingan kita. Semua orang ini mempunyai kesamaan, SELALU MELACURKAN KITA
Merespon dari media yang melebaykan vandalism dini hari kemarin.
Vandalisme bukanlah tindakan amoral, mereka adalah kata kata yang diabaikan oleh para perwakilan dan yang mengaku pemimpin rakyat bajingan itu. Apakah perlu saya umbar satu persatu masalah yang ada? Mulai dari dulu kebocoran pipa gas dan kilang minyak, pemasangan paving di setiap desa yang menguntungkan pemimpin, pemakaian apbd untuk jalan jalan ke luar negeri, penghamburan uang untuk acara pemecahan rekor dan acara 4 negara yang sangat tidak berguna,pembelian kereta, bagaimana dengan polusi udara dan limbah pabrik re drying rokok atau yang paling simpel adalah hegemoni hijau merah di setiap sudut kota, yang lebih parah adalah elite serikat buruh bajingan yang malah bekerja sama dengan polisi.

apa yang saya coret atau kami terserahlah kalian menyebut apa ,Tiada bandingannya kerusakan yang kami sebabkan daripada apa yang pernah dilakukan oleh para pemimpin dan perwakilan bajingan itu. Kami tak mau mewakilkan atau diwakilkan atas nama siapapun, kami tak mengemban sebagai garis depan revolusi. Kami berjuang atas individu kami sendiri atas apa yang kami alami tentang pembodohan publik yang dilakukan oleh para elite partai dan para antek anteknya, kami dimiskinkan secara structural oleh system yang ada dan tentunya bank sialan yang selalu menipu, merampas dan melilit keluarga kami. Aksi saya hanya sebatas peringatan ataupun terror bagi para babi gendut berdasi bahwa saya ataupun kami bisa memberontak, kami tidak ingin ada roda gigi di kepala bak orang bodoh bahkan bukan manusia tetapi robot yang selalu dikendalikan dan tak bisa berbuat apa apa, kami ingin melepas segala kontrol dan dominasi sekarang yang membuat kami tertindas.
Apa yang kami perjuangkan adalah hidup kami sendiri, kami menolak untuk diwakilkan dan mewakilkan segala nama ataupun sebuah kelompok. Kami menuntut sampai kapanpun agar terciptanya masyarakat yang setara tanpa kelas, demokrasi partisipatif bagi setiap warga, kebebasan individu, dan tentunya penghancuran segala macam hirarki dan bentuk pengeksploitasian manusia serta penghapusan Negara . Segala ketimpangan sosial ini harus segera di akhiri, kami akan selalu mencoret coret atau kalau perlu menghancurkan terhadap segala bangunan yang menyimbolkan ketimpangan sosial bagi kehidupan kami ataupun diri saya sendiri.

Serangkaian aksi teror kami, dimulai dari peringatan hari buruh lalu dan pada puncaknya serangan-serangan vandal dan bom air seni di kantor DPRD Bojonegoro dan beberapa kantor Bank yang merupakan alat kapital. Kemuakan kami pada penindasan oleh negara dan kapital, kesewenang-wenangan pemda Bojonegoro baru-baru ini seperti menghabiskan APBD yang harusnya untuk warga kecil justru digunakan untuk jalan-jalan keluar negeri. Apa yang kami lakukan adalah sebagian kecil dari kemuakan kami yang setiap hari semakin menumpuk dan menumbuhkan bom waktu, serangan kami akan terus berlanjut dan mungkin bukan hanya coretan tembok lagi. Tak usah menunggu pembebasan mulailah rebut kebebebasanmu sendiri. Tak usah menunggu revolusi besar, mulailah revolusi diri sendiri dan REVOLUSI DIMULAI HARI INI! Panjang umur pembangkangan! dan Hormatku untuk Saudaraku yang menabur Api Perlawanan Di Setiap Daerah.

Jaringan Individual Bojonegoro

Beberapa foto vandalisme di kantor DPRD dan Bank

WILDLINGS: MASYARAKAT ANARKIS ATAU KAWANAN BARBAR

WILDLINGS: MASYARAKAT ANARKIS ATAU KAWANAN BARBAR
Melihat kecenderungan anarkisme dalam serial Game Of Thrones

Setelah Bran diangkat sebagai King of Six Kingdoms dan serial Game Of Thrones berakhir, masih ada pertanyaan yang mengganjal beberapa orang: apakah Wildlings itu anarkis. Nah, pertanyaan ini memicu saya untuk mencoba cocoklogi mengenai pertanyaan tersebut. Apakah kurang kerjaan? Bisa ya bisa tidak.

Sebelumnya, mari kita kenal dahulu apa itu Wildilngs. Wildlings atau Free Folk adalah masyarakat yang tinggal di balik The Wall. Masyarakat ini disebut Wildlings karena karakter yang dipandang barbar oleh masyarakat di utara The Walls. Masyarakat Westeros sendiri bisa disebut kebalikan dari Wildlings. Bila saya bandingkan dengan masyarakat di dunia nyata, maka Wildlings bisa dibilang satir dari masyarakat Eskimo dan Viking yang dipadukan. Sedangkan, Westeros sangat identik dengan masyarakat Eropa abad pertengahan. Sebenarnya, ini mudah dilihat, karena kecenderungan sang penulis untuk mengambil masyarakat di dunia nyata sebagai inspirasi. Seperti Dothraki yang mirip masyarakat Mongolia dan Dorne yang mirip Timur Tengah.

Kehidupan sosial dari masyarakat Wildlings memang selalu digambarkan sebagai barbar. Mereka bertahan hidup dengan saling serang dan merebut. Mereka juga selalu menyerang The Wall dan penjaganya, Night Watch. Karena terpisah oleh The Wall, maka Wildlings terbebas dari segala bentuk negara, kebangsawanan, kerajaan, dan hukum dari Westeros. Mereka menentukan cara hidup sendiri dan terpecah dalam beberapa suku. Beberapa suku memiliki hierarkis yang ditentukan oleh masyarakat di dalamnya. Beberapa mengambil satu sosok sebagai koordinator mereka, dan bisa jadi perempuan. Cara hidup mereka juga dipengaruhi lokasi ereka tinggal. Sehingga ada banyak karakter masyarakat di dalam Wildlings, bahkan kanibal. Wildlings digambarkan sebagai masyarakat yang percaya bahwa Tuhan menciptakan bumi untuk dihidupi semua manusia yang saling berbagi. Menurut salah satu Wildlings Ygritte memandang, ketika raja datang dengan mahkota dan pedang, mereka mencuri bumi ini dan melakukan klaim atas semua itu untuk dirinya.

Masyarakat Wildlings sendiri selalu digambarkan sebagai masyarakat amoral. Dalam seri ini, Craster dianggap simbol masyarakat Wildlings yang tidak mengindahkan moralitas. Terutama perkara dia yang melakukan praktik incest. Karakter Wildlings yang selalu merampok desa di sekitar The Wall juga dipandang sebagai kegiatan biadab. Mereka disebut sebagai masyarakat primitif karena cara mereka hidup. Terutama masalah agresivitas mereka. Hal lain yang dipandang amoral adalah masalah pernikahan. Pria Wildlings akan menculik perempuan yang ingin dia nikahi dan perempuan itu berhak melawan sepanjang perjalanan. Ketika sudah menikah, pria yang gagal menyenangkan hati istrinya sah untuk dibunuh oleh sang istri. Perempuan Wildlings juga berhak memiliki senjata dan berhak untuk ikut berburu, merampas, dan segala kegiatan yang dipandang “bukan urusan perempuan”.

Tentu, sebagai bagian dari peradaban yang lekat dengan norma dan dogma, kita melihat masyarakat Wildlings sebagai “sampah peradaban”. Namun, Game Of Thrones memang dikemas dalam bentuk satir terhadap peradaban yang ada. Berkebalikan dengan Wildlings, masyarakat Westeros adalah “kotoran bersepuh emas”. Inces pun terjadi tapi ditutup-tutupi. Perkara incest, kita harus melihat kondisi Craster, dimana dia membutuhkan anak laki-laki untuk dipersembahkan pada monster di sekitarnya, Night Walker. Kebalikannya, Cersei dan Jamie Lannister melakukan inces namun ditutup-tutupi atas nama moral. Kembali ke Westeros, pernikahan dipaksakan atas nama kekuasaan dilegalkan. Perbudakan adalah hal umum, terutama di wilayah seberang Westeros dimana pasukan budak adalah kekuatan mereka. Perebutan lahan dan pajak atas nama kerajaan juga hal yang umum.

Sebenarnya, cukup banyak fans Game Of Thrones yang mengkaji kecenderungan anarkis dalam masyarakat Wildlings. Dan saya juga tertarik menemukan cocoklogi di dalamnya. Jika kita lihat gaya sang penulis yang menggunakan peradaban asli sebagai inspirasi, maka saya setuju jika masyarakat Wildlings adalah masyarakat anarkis. Dimana inspirasi dari Wildlings adalah masyarakat Eskimo yang dipadukan dengan karakter perampas Viking. Dan keduanya memang memiliki karakter anarkis. Pada Wildlings sendiri, perampasan dilakukan atas dasar kebutuhan. Wilayah Wildlings yang selalu tertutup es menyebabkan mereka tidak bisa bertani. Cara mereka bertahan hidup adalah dengan melakukan perampasan dari wilayah lain yang subur. Wildlings tidak dapat bertani di wilayah itu karena akan disergap oleh Night Watch ataupun tentara kerajaan karena dipandang sebagai penduduk asing. Tentu kondisi ini mengingatkan kita pada quote dari Emma Goldman “Mintalah pekerjaan. Jika tidak diberikan, mintalah roti. Jika kamu tidak diberi roti, rebutlah roti itu!” Dalam kondisi Wildlings, memang cara terbaik bagi mereka adalah merampas. Dalam masyarakat, kita bisa melihat praktik demokrasi langsung. Dimana Wildlings tidak mengikuti satupun raja, bahkan yang digelari King Beyond The Wall. Setiap anggota masyarakat berhak ikut dalam pengambilan keputusan. Bisa kita lihat dalam arc Wildlings menyerang The Wall, Mance Rayder bukanlah seorang raja diantara mereka. Sistem perwakilan dalam demokrasi langsung dapat kita lihat dalam setiap pengambilan keputusan. Wildlings tidak mengikuti koordinasi Rayder karena alasan hierarkis dan otoritarian. Semata-mata karena mereka membutuhkan koordinasi dalam menyerang The Walls. Posisi Rayder yang digelari King juga sebagai bentuk “tantangan” para Wildlings dalam memandang sistem kerajaaan di Westeros. Kita bisa melihat keserupaan ini dalam tentara Zapatista dan Rojava. Dalam pertempuran, koordinasi dibutuhkan baik vertikal namun horizontal. Namun, berbeda dengan sistem militer konservatif, tidak ada hak istimewa bagi koordinator yang ditunjuk. Baik koordinator antar kelompok sampai antar perwakilan. Setiap individu yang ikut berperang juga ikut dalam setiap aksi, dan tidak bersembunyi didalam bunker yang hangat. Bagaimana Wildlings menempatkan perempuan juga patut kita cermati. Perempuan Wildlings bukanlah makhluk kelas 2. Mereka juga berhak ambil bagian dalam setiap kegiatan. Baik berburu, merampas, sampai berperang. Perempuan Wildlings tidak dipojokkan dalam tenda, tapi sejajar seperti laki-laki. Perkara pernikahan yang terlihat “memaksa” mungkin bisa kita maklumi dengan melihat kondisi demografis dan geografis disana. Toh, perempuan disana juga punya hak melawan, dan hak untuk bercinta dengan yang dia inginkan. Yang terakhir, masyarakat Wildlings tidak memiliki kasta dalam mengatur kehidupannya. Mereka juga tidak memiliki kepemilikan properti. Kepemilikan yang ada ada hanyalah kepemilikan personal yang digunakan sebagai alat bertahan hidup. Melihat karakter masyarakat Wildlings, mungkin kita bisa menyamakan dengan Libertatia, koloni bebas yang dibangun oleh para bajak laut pada abad ke 17. Masyarakat Libertatia bisa dianggap sebagai bentuk masyarakat anarkis mula-mula

Jika kita percaya bahwa Wildlings adalah bentuk masyarakat yang terjadi dalam masyarakat anarkis, itu salah besar. Kita harus melihat kondisi lingkungan hidup mereka. Bagaimana keterbatasan dan kerasnya lingkungan membentuk masyarakat yang terkesan barbar. Namun, dibalik barbarnya Wildlings (atau barbarnya menurut peradaban Westeros), kita bisa melihat bagaimana kehidupan dijalankan dengan sangat baik tanpa ada penindasan diantara mereka. Tentu dengan kondisi yang memang tidak bersahabat. Bagaimana menurut kawan-kawan. Apakah Wildlings merupakan masyarakat anarkis, atau bukan?

-camarhitam- dan Bintang le Bleu

SEKOLAH ALTERNATIF: BAGAIMANA MEREKA MENDIDIK SECARA MERDEKA DAN “NAKAL”?

SEKOLAH ALTERNATIF: BAGAIMANA MEREKA MENDIDIK SECARA MERDEKA DAN “NAKAL”?

“Fungsi seorang anak adalah untuk hidup di kehidupannya sendiri. Bukan hidup yang dipikir harus dihidupinya oleh orang tua yang gelisah” – A. S. Neil

Ternyata banyak yang tertarik pada model pendidikan alternatif. Dan saya bisa memaklumi. Model pendidikan tradisional khas Indonesia tidak memberi kesempatan siswa untuk memerdekakan pikiran. Semata-mata merakit cara pikir untuk bertahan hidup (baca: menjadi pegawai). Penjejalan ilmu-ilmu yang tidak praktis dalam kekangan kurikulum menjadi sistem yang baku. Bahkan, perguruan tinggi yang sejatinya memberi ruang bagi mahasiswa bereksperimen sesuai ketertarikan serta membangun pemikiran individu menjadi pabrik pekerja sesuai kebutuhan industri (Arahan Kemenristek Dikti). Lalu, bagaimana dengan pendidikan alternatif? Apakah juga mencetak mesin-mesin intelektual industri?

Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya berisfat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman. Pendidikan alternatif yang akan saya bahas adalah pendidikan alternatif yang dikembangkan atas dasar kemerdekaan dan ketertarikan individu. Bukan pendidikan alternatif yang berfokus pada “anak bermasalah”. Penidikan alternatif yang “anarkis” dengan mengutamakan demokrasi, kesetaraan, dan kemerdekaan. Model pendidikan ini dikembangkan oleh Alexander Sutherland Neil, pendiri dari Summerhill School di Inggris. Jadi, jangan sampai ada pemikiran bahwa model sekolah alternatif hanya sebatas teori utopis.

Lalu apa yang menjadi metode sebuah sekolah alternatif? Poin-poin ini adalah hasil riset saya dengan membandingkan beberapa sekolah alternatif yang ada. Tapi memang saya berfokus pada 2 sekolah: Summerhill School dan Sanggar Anak Alam

1. Sekolah hadir sesuai kebutuhan murid: sekolah alternatif tidak membangun sebuah konsep pendidikan dimana setiap murid harus menjadi “seseorang” sesuai konsep. Murid diarahkan sebagai pribadi yang unik, bukan keseragaman. Sekolah alternatif hanya menjadi wadah ekspresi dan penggalian ide murid didalamnya. Maka tidak akan ditemui keseragaman dan “kepatuhan” baku di dalam sekolah alternatif.
2. Tanpa kurikulum: ini adalah inti dari sebuah sekolah alternatif. Kurikulum dipandang sebagai bentuk dogmatis yang tidak mengindahkan keunikan setiap individu. Satu-satunya kebakuan yang mirip kurikulum pada sekolah alternatif adalah pendidikan basis kehidupan. Seperti kemampuan membaca, menulis, riset, berhitung dasar, dan beberapa basis bertahan hidup termasuk pemahaman hak individu. Tidak ada pendidikan karakter yang menggolongkan murid sebagai “patuh” dan nakal. Sekolah alternatif tidak memandang “kenakalan” sebagai sebuah cacat, melainkan sebagai bentuk ekspresi yang lahir dari dalam pikiran. Satu-satunya kenakalan hanyalah melanggar hak individu lain, hanya itu.
3. Digolongkan sesuai kebutuhan: beberapa “kelas” di pendidikan alternatif sering terpaksa mengikuti regulasi umum; berdasarkan usia. Tetapi tidak menutup kemungkinan dalam diskusi dan riset, berbagai usia akan berdiskusi bersama.
4. Kesepakatan bersama: inilah praktik demokrasi langsung yang diaplikasikan di sekolah alternatif. Setiap murid bebas berpendapat dalam lingkup mereka. Setiap keputusan yang berpengaruh diputuskan bersama, dan tidak hanya hasil pemikiran para fasilitator. Kembali pada basik utama sekolah alternatif yang hadir sesuai kebutuhan murid, dan bukan sebaliknya.
5. Tidak ada guru: yang dimaksud disini adalah guru yang mengendalikan pembelajaran murid. Sekolah alternatif memakai fasilitator sebagai pembimbing murid. Fasilitator pun memiliki hak demokratis dan tidak dikekang untuk “mendidik”. Fasilitator pun dibebaskan dalam proses belajar tanpa berhak untuk mengatur murid kecuali mengarahkan agar pembelajaran kondusif. Arahan ini pun bukan arahan keras ala sekolah konvensional tetapi lebih berupa ajakan dan membangun kesadaran. Beberapa sekolah alternatif memiliki “kepala sekolah”. Tetapi peran kepala ini pun lebih dalam keperluan birokratis sedangkan sang kepala sekolah tetap sejajar dan egaliter.
6. Berbasis riset: berbeda dengan sekolah konvensional yang mendidik dengan “mata pelajaran”, murid di sekolah alternatif berfokus pada riset personal. Murid tidak diajak belajar hapalan yang terstruktur, tetapi berfokus pada apa yang ingin dipelajari dan apa yang perlu dipelajari. Setiap siswa diajak untuk menggali permasalahan yang ditemui, atau ketertarikan pribadi. Hasil dari menggali tersebut akan menjadi riset siswa. Biasanya akan dibangun kesepakatan mengenai lama riset dan media riset, disesuaikan dengan kemampuan sekolah. Seringkali sekolah alternatif meminta bantuan pihak luar sebagai fasilitator apabila riset siswa apabila fasilitator “tetap” disana kurang mampu mendukung riset siswa. Dan riset yang dilakukan sangat bebas dan cenderung praktis. Mulai dari metode menjahit, bertani, sampai riset “ilmiah” seperti penyakit. Dan hasil riset ini akan dipresentasikan seperti sidang skripsi. Dan orang tua tidak dibatasi dalam ikut mendampingi murid, bahkan ditekankan riset terbaik didasari apa yang ditemukan di keluarga. Posisi orang tua menjadi penting karena merekalah yang menjadi pendamping awal murid dan memiliki waktu bertemu lebih tinggi.
7. Swakelola: sekolah alternatif biasanya “dihidupi” secara swakelola. An yang terlibat dalam swakelola ini adalah semua pihak; fasilitator, murid, dan orang tua murid. Mulai dari pendanaan, pengadaan peralatan, pemeliharaan bangunan, sampai keputusan-keputusan vital diambil bersama. Dan sekali lagi dalam suasana demokrasi langsung.
8. Ijazah tidak penting: ini yang menjadi “minus” sekolah alternatif di mata masyarakat umum. Sekolah alternatif tidak menyediakan ijazah atau sertifikat. Karena dipandang ijazah hanya menghalangi kebebasan murid dan menjadikan murid sebagai produk. Tetapi, sekolah alternatif sering “bermain” untuk memenuhi kebutuhan murid akan ijazah. Di Indonesia, apabila murid memerlukan ijazah, maka di “kelas” terakhir murid akan diajak melakukan riset tentang soal ujian nasional dan akan dibantu untuk mengikuti kejar paket. Tetapi, kebanyakan orang tua tidak memikirkan ijazah dan lebih menekankan pada apa yang terbentuk di dalam siswa

Model pendidikan ini menjadi “perlawanan” terhadap regulasi otoritas. Sekolah alternatif menunjukkan bahwa pendidikan haruslah mengutamakan murid, bukan mendoktrin murid dengan nilai-nilai yang menjadikan murid seperti robot. Tentu banyak “kekurangan” sekolah alternatif, terutama jika dilihat dari sudut pandang “pemerintah”. Tapi, apakah kekurangan ini menjadi sesuatu yang harus dihindari, atau kekurangan ini semata-mata bentuk untuk mencegah murid belajar diluar kurikulum dan diluar harapan otoritas dalam mencetak “calon roda gigi peradaban” (dibaca: calon roda gigi industri)?

-camarhitam-

Pledoi kepada kawan-kawan yang dilabeli “anarkis kutu buku” dan “anarkis akademis”.

MEMBACA ≠ TERDOGMA, MENULIS ≠ MENDOGMA
Pledoi kepada kawan-kawan yang dilabeli “anarkis kutu buku” dan “anarkis akademis”.

“Anarkisme Tidak Perlu Guru, Karena Ada Di Dalam Dirimu” -Seseorang yang tanpa sengaja kulihat di beranda-

Entah bagaimana ceritanya, akhir-akhir ini saya menemukan kecenderungan baru. Dengan dalih anti dogma, banyak yang cenderung menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan. Banyak dari mereka memandang anarkisme adalah sesuatu yang tidak perlu dipelajari ataupun digurui. Dan pandangan ini menuju pada satu titik dimana kita tidak perlu belajar apapun dan percaya pada intuisi. Makin jauh, pandangan ini menjadi alasan untuk membenci seseorang yang menyampaikan pendapat ataupun teori ilmiah atas dasar doktrinasi.

Di satu sisi, saya meyetujui. Anarkisme bukanlah sebuah dogma yang harus dibaca dibawah lampu meja. Menjadi anarkis bukanlah mengamalkan nilai-nilai yang ditulis tebal dalam buku.anti dogma bukanlah dengan mengangguk-angguk takzim pada jerit berapi-api seseorang. Sebagaimana yang diungkapkan Emma Goldman “Anarkisme, pada akhirnya berarti pembebasan pikiran manusia dari dominasi reliji; pembebasan tubuh dari dominasi properti; pembebasan dari belenggu dan kekangan pemerintah.” Disini bisa kita lihat bahwa anarkisme menghindari adanya dominasi pikiran. Selain reliji, dogma pun adalah alat dominasi tersebut. Lalu, apakah ini berarti anarkisme melawan bentuk belajar, membaca, menulis, dan literasi lain?

Saya pikir tidak

Bukan berarti anarkisme melarang seseorang menjadi kutu buku. “Tidak ada yang lebih layak daripada kamu sendiri untuk menentukan bagaimana kamu hidup.” (Crimenthinc). Pada dasarnya kitalah yang berhak menentukan jalan hidup kita, termasuk dalam urusan literasi. Kita bebas untuk membaca seluruh buku yang ada di dunia, atau menutup mata dari setiap literasi yang ada. Semua kembali pada kita sendiri dan bagaimana buku menjadi kebutuhan kita. Namun, apakah tepat memandang remeh belajar terutama membaca?

Saya rasa, ada salah paham disini. Ketika kita bicara “belajar”, maka kita bicara bagaimana seseorang melakukan proses perubahan di dalam kepribadiannya. Hasil belajar ini tampak dalam tingkah laku dan kecakapan kedepan. Berarti, belajar tidak bisa disamakan dengan indoktrinasi. Belajar adalah proses personal yang memang mutlak terjadi. Otak manusia tidak pernah menyimpan memori untuk memegang sendok, maka dari itu dia perlu belajar memegang sendok. Belajar adalah bagian dari upaya kita dalam bertahan hidup. Jika kita tidak belajar membuat api, kita akan mati. Cara membuat api tidak pernah ditransfer dari orang tua ke anak lewat plasenta. Semua harus dipelajari.

Dalam “belajar” anarkisme, saya juga memandang itu bukan bentuk doktrinasi dogmatis. Dan sebaiknya tidak seperti itu sama sekali. Belajar mengenai anarkisme adalah bekal bagi kita untuk memahami anarkisme dalam setiap diri orang. Kita sedang memahami individualitas kita, dan tidak sedang menyematkan nilai-nilai dogmatis dalam alam pikir kita. Mempelajari anarkisme juga sebagai bentuk latih pada pikiran logis dan kritis. Ketika kita menemukan kata-kata seperti “ambilah roti itu”, disini pikiran kita akan bekerja untuk mempertimbangkan. Logika kita akan memahami setidaknya kapan kita harus mencuri sebuah roti. Apabila kita pandang kata itu sebagai dogma, maka kita akan mencuri roti seperti seorang nasionalis menghormati bendera. Dan, penolakan pada memahami anarkisme dan membuka diri pada literasi anarkis, saya rasa kurang tepat. Hidup yang kita jalani tetaplah bisa menjadi laboratorium dan perpustakaan kita dalam memahami anarkis. Namun, kehadiran literasi adalah cara cepat kita dalam memahami bagaimana kita hidup. Terlebih lagi, mungkin lebih dari 90% diantara kita telah terdogma secara masif sejak kecil. Seperti contoh: seksisme. Banyak diantara kita yang diajarkan laki-laki adalah manusia kuat yang mengatur perempuan. Pengulangan dogma ini di setiap kesempatan tentu akan mempengaruhi bagaimana kita berpikir sampai tingkat dasar, sampai dibawah alam sadar. Literasi anarkis menjadi cara kita, untuk sedikit-demi sedikit, melepaskan diri dari dogma mengakar itu.

Bagaimana dengan orang-orang yang gemar menulis tentang anarkisme? Misal, para admin Black Voice. Apakah mereka sedang mendogma?

Tidak juga. Meskipun semua dikembalikan pada personal. Bisa jadi mereka ingin menjadi pelopor, bisa juga karena sesederhana bernafas. Mengingat kata-kata Malatesta “Kita semua egois, mencari kepuasan sendiri. Namun kaum anarkis mendapati kepuasan terbesarnya dalam perjuangan untuk kebaikan bersama, untuk mencapai masyarakat yang di dalamnya ia (demikian) dapat menjadi saudara di antara lainnya, dan diantara orang-orang yang sehat, cerdas, terdidik, dan bahagia.” Seorang anarkis menyuarakan anarkisme dalam karya, tentu karena cita-cita membangun masyarakat yang sadar bahwa setiap manusia bisa bebas dari dogma. Menulis juga bentuk dari mutual aid, dimana seseorang yang memiliki kemampuan menulis akan menulis sebagai bentuk hubungan timbal balik, Kadang kala, alasan seseorang menulis sangat sederhana: aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah kebutuhan puncak manusia dalam segitiga kebutuhan manusia. Aktualisasi diri ini sangat sederhana, yaitu seseorang akan membutuhkan kesempatan untuk memaksimalkan penggunaan kemampuan dan potensi diri. Tujuannya adalah pemenuhan keberadaan diri (self fulfillment). Menulis adalah salah satu bentuk memenuhi kebutuhan individu, dan tidak ada yang berhak menghalanginya. Dan jika kalian merasa tulisan-tulisan anarkisme adalah pelanggaran dan gangguan terhadap individualitas, Max Stirner pun menulis.

Dan pada akhirnya, seorang anarkis berhak untuk menentukan apa yang tepat bagi dirinya. Beberapa individu lebih menikmati hidup jauh dari buku-buku berdebu, sisanya menikmati menghabiska berbagai macam buku dan ilmu didalamnya. Kita perlu selalu membangun kesadaran dalam diri, agar apa yang kita pelajari tidak berakhir sebagai dogma yang diamini dengan membabi buta. Namun, apakah kita harus separanoid itu terhadap hadirnya ilmu pengetahuan? Transfer ilmu antar idividu tetaplah menjadi bagian dari pemenuhan kebutuhan. Menulis juga menjadi bagian dari hak tiap individu untuk mengaspirasikan apa yang ada di dalam dirinya. Menghalangi atau menyerang secara verbal seseorang yang sedang belajar ataupun menulis, aku rasa itu bentuk pelanggaran pada hak individual. Dan mengenai pengetahuan dan kecerdasan, aku ingin mengingat quote Emma Goldman: “Orang-orang hanya memiliki kemerdekaan sebanyak mereka memiliki kecerdasan untuk ingin dan keberanian untuk mengambil”
BE A NERD, BE AN ANARCHIST

-camarhitam-

PERS RELEASE SAMAR: PT.RUM (MASIH) TERUS BERULAH

PERS RELEASE SAMAR: PT.RUM (MASIH) TERUS BERULAH


PT. Rayon Utama Makmur (PT.RUM) kembali mencemari lingkungan. Tepatnya tengah malam, Jumat 21 Juni 2019 puluhan warga Ngrapah, Tawang Krajan, dan Badran Kenteng, kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah kembali mengeluhkan bau busuk yang bersumber dari PT. RUM.
Akibat bau busuk tersebut mereka terpaksa harus keluar dari rumah dan menuju PT. RUM sambil berteriak agar PT. RUM menghentikan proses produksinya. Meskipun tidak lama kemudian mesin produksi serat rayon dimatikan oleh PT. RUM, namun tetap saja apa yang dilakukan oleh PT.RUM sangat meresahkan warga, karena tepat tengah malam yang sewajarnya waktu warga untuk beristirahat, justru diganggu oleh kegiatan produksi PT. RUM yang selama ini memang sering menimbulkan bau busuk menyengat.
Alih-alih memperbaiki pengolahan limbah, pelanggaran demi pelanggaran masih terus dilakukan oleh pihak PT.RUM, dari mulai tak menggubris SK Bupati hingga tak peduli dengan nasib rakyat disekitar pabrik yang setiap hari menghirup gas beracun hasil limbah PT.RUM. Sampai saat ini PT. RUM terus melancarkan kegiatan produksinya (dengan dalih uji coba) dan tidak ada tanda-tanda keseriusan PT. RUM untuk memperbaiki sistem pengolahan limbah yang dihasilkan dari kegiatan produksinya. Hal ini diitandai dengan belum maksimalnya pengendalian emisi sehingga menimbulkan dampak bau di sekitar wilanyah kecamatan Nguter, pemasangan pipa belum maksimal dan bahkan warga kerap kali menemukan pipa-pipa pembuangan limbah yang bocor, sehingga memperparah pencemaran lingkungan.
Jika merujuk pada surat keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati Sukoharjo tanggal 23 Februari 2018 lalu, tinggal 60 hari lagi kesempatan bagi PT. RUM untuk memperbaiki pengolahan limbah (baik limbah cair maupun limbah udara) agar tidak mencemari lingkungan.
Warga meyakini sepenuhnya bahwa kegiatan produksi serat rayon PT. RUM yang masih ada ikatan dengan SRITEX sama sekali tidak akan pernah menghadirkan kesejahteraan untuk warga. Justru sebaliknya, kegiatan produksi tersebut akan mengantarkan bumi Sukoharjo ke dalam situasi krisis sosial-ekologis yang parah. Padahal di Kecamatan Nguter ini potensi ekonomi melalui wilayah-wilayah kelola masyarakyat telah menunjukkan bahwa rakyat bisa sejahtera tanpa adanya industri skala besar yang hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Kehadiran PT. RUM ini justru merusak ekonomi rakyat, ekologi, dan sosial masyarakat Sukoharjo yang telah dibangun selama ini.
Berbagai perjuangan rakyat Sukoharjo untuk menutup PT. RUM hingga berujung kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan berawal dari masalah pencemaran limbah (baik udara maupun air) yang dihasilkan oleh PT. RUM menyebar di pemukiman dan sungai warga. Serangkaian aksi demonstrasi berulang-ulang kali dilakukan sejak akhir tahun 2017 hingga saat ini. Namun hasil demi hasil kesepakatan yang telah terlahir dari berbagai aksi demonstrasi tidak serta merta dapat menghentikan korporasi besar ini. PT. RUM masih tetap becokol dan menyebar racun di lingkungan masyarakat Sukoharjo.
Hukum memang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, dan memang disengaja oleh para penguasa untuk menumpulkan hukum bagi segelintir orang yang memiliki modal berlebih di bidang ekonomi demi melipatgandakan keuntungan. Negara dengan berbagai alat represifnya kerap berpihak kepada kelas yang memiliki modal berlebih. Di saat PT. RUM melancarkan kegiatannya, yang mengakibatkan kerugian besar bagi war sekitar, di mata penguasa seolah tidak ada apa-apa. Namun jika rakyat mengekspresikan kemarahannya dan menuntut hak-hak nya yang direnggut, negara dan alat represifnya memperlakukan warga bak virus mematikan yang harus ditumpas habis.
Oleh karena itu, berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, dimana kemenangan-kemenangan kecil berhasil kita raih dengan bersatunya unsur solidaritas dan warga Sukoharjo dalam melawan PT. RUM beserta kroni-kroninya, kami, Aliansi Sukoharjo Melawan Racun (SAMAR) kembali mengajak seluruh unsur solidaritas dan warga Sukoharjo yang selama ini ditindas oleh PT. RUM untuk kembali mengkonsolidasikan diri, menyiapkan perlawanan, lalu menyerang untuk melumpuhkan musuh (PT. RUM) sampai setuntas-tuntasnya.

“Kemenangan bagi orang-orang tertindas hanya akan datang jika sesama rakyat tertindas di seluruh dunia bersatu padu saling bergandengan tangan melawan musuh-musuhnya”

Panjang Umur Persatuan Rakyat
Kami tunggu kehadiran kalian di barisan perlawanan!