WILDLINGS: MASYARAKAT ANARKIS ATAU KAWANAN BARBAR

WILDLINGS: MASYARAKAT ANARKIS ATAU KAWANAN BARBAR
Melihat kecenderungan anarkisme dalam serial Game Of Thrones

Setelah Bran diangkat sebagai King of Six Kingdoms dan serial Game Of Thrones berakhir, masih ada pertanyaan yang mengganjal beberapa orang: apakah Wildlings itu anarkis. Nah, pertanyaan ini memicu saya untuk mencoba cocoklogi mengenai pertanyaan tersebut. Apakah kurang kerjaan? Bisa ya bisa tidak.

Sebelumnya, mari kita kenal dahulu apa itu Wildilngs. Wildlings atau Free Folk adalah masyarakat yang tinggal di balik The Wall. Masyarakat ini disebut Wildlings karena karakter yang dipandang barbar oleh masyarakat di utara The Walls. Masyarakat Westeros sendiri bisa disebut kebalikan dari Wildlings. Bila saya bandingkan dengan masyarakat di dunia nyata, maka Wildlings bisa dibilang satir dari masyarakat Eskimo dan Viking yang dipadukan. Sedangkan, Westeros sangat identik dengan masyarakat Eropa abad pertengahan. Sebenarnya, ini mudah dilihat, karena kecenderungan sang penulis untuk mengambil masyarakat di dunia nyata sebagai inspirasi. Seperti Dothraki yang mirip masyarakat Mongolia dan Dorne yang mirip Timur Tengah.

Kehidupan sosial dari masyarakat Wildlings memang selalu digambarkan sebagai barbar. Mereka bertahan hidup dengan saling serang dan merebut. Mereka juga selalu menyerang The Wall dan penjaganya, Night Watch. Karena terpisah oleh The Wall, maka Wildlings terbebas dari segala bentuk negara, kebangsawanan, kerajaan, dan hukum dari Westeros. Mereka menentukan cara hidup sendiri dan terpecah dalam beberapa suku. Beberapa suku memiliki hierarkis yang ditentukan oleh masyarakat di dalamnya. Beberapa mengambil satu sosok sebagai koordinator mereka, dan bisa jadi perempuan. Cara hidup mereka juga dipengaruhi lokasi ereka tinggal. Sehingga ada banyak karakter masyarakat di dalam Wildlings, bahkan kanibal. Wildlings digambarkan sebagai masyarakat yang percaya bahwa Tuhan menciptakan bumi untuk dihidupi semua manusia yang saling berbagi. Menurut salah satu Wildlings Ygritte memandang, ketika raja datang dengan mahkota dan pedang, mereka mencuri bumi ini dan melakukan klaim atas semua itu untuk dirinya.

Masyarakat Wildlings sendiri selalu digambarkan sebagai masyarakat amoral. Dalam seri ini, Craster dianggap simbol masyarakat Wildlings yang tidak mengindahkan moralitas. Terutama perkara dia yang melakukan praktik incest. Karakter Wildlings yang selalu merampok desa di sekitar The Wall juga dipandang sebagai kegiatan biadab. Mereka disebut sebagai masyarakat primitif karena cara mereka hidup. Terutama masalah agresivitas mereka. Hal lain yang dipandang amoral adalah masalah pernikahan. Pria Wildlings akan menculik perempuan yang ingin dia nikahi dan perempuan itu berhak melawan sepanjang perjalanan. Ketika sudah menikah, pria yang gagal menyenangkan hati istrinya sah untuk dibunuh oleh sang istri. Perempuan Wildlings juga berhak memiliki senjata dan berhak untuk ikut berburu, merampas, dan segala kegiatan yang dipandang “bukan urusan perempuan”.

Tentu, sebagai bagian dari peradaban yang lekat dengan norma dan dogma, kita melihat masyarakat Wildlings sebagai “sampah peradaban”. Namun, Game Of Thrones memang dikemas dalam bentuk satir terhadap peradaban yang ada. Berkebalikan dengan Wildlings, masyarakat Westeros adalah “kotoran bersepuh emas”. Inces pun terjadi tapi ditutup-tutupi. Perkara incest, kita harus melihat kondisi Craster, dimana dia membutuhkan anak laki-laki untuk dipersembahkan pada monster di sekitarnya, Night Walker. Kebalikannya, Cersei dan Jamie Lannister melakukan inces namun ditutup-tutupi atas nama moral. Kembali ke Westeros, pernikahan dipaksakan atas nama kekuasaan dilegalkan. Perbudakan adalah hal umum, terutama di wilayah seberang Westeros dimana pasukan budak adalah kekuatan mereka. Perebutan lahan dan pajak atas nama kerajaan juga hal yang umum.

Sebenarnya, cukup banyak fans Game Of Thrones yang mengkaji kecenderungan anarkis dalam masyarakat Wildlings. Dan saya juga tertarik menemukan cocoklogi di dalamnya. Jika kita lihat gaya sang penulis yang menggunakan peradaban asli sebagai inspirasi, maka saya setuju jika masyarakat Wildlings adalah masyarakat anarkis. Dimana inspirasi dari Wildlings adalah masyarakat Eskimo yang dipadukan dengan karakter perampas Viking. Dan keduanya memang memiliki karakter anarkis. Pada Wildlings sendiri, perampasan dilakukan atas dasar kebutuhan. Wilayah Wildlings yang selalu tertutup es menyebabkan mereka tidak bisa bertani. Cara mereka bertahan hidup adalah dengan melakukan perampasan dari wilayah lain yang subur. Wildlings tidak dapat bertani di wilayah itu karena akan disergap oleh Night Watch ataupun tentara kerajaan karena dipandang sebagai penduduk asing. Tentu kondisi ini mengingatkan kita pada quote dari Emma Goldman “Mintalah pekerjaan. Jika tidak diberikan, mintalah roti. Jika kamu tidak diberi roti, rebutlah roti itu!” Dalam kondisi Wildlings, memang cara terbaik bagi mereka adalah merampas. Dalam masyarakat, kita bisa melihat praktik demokrasi langsung. Dimana Wildlings tidak mengikuti satupun raja, bahkan yang digelari King Beyond The Wall. Setiap anggota masyarakat berhak ikut dalam pengambilan keputusan. Bisa kita lihat dalam arc Wildlings menyerang The Wall, Mance Rayder bukanlah seorang raja diantara mereka. Sistem perwakilan dalam demokrasi langsung dapat kita lihat dalam setiap pengambilan keputusan. Wildlings tidak mengikuti koordinasi Rayder karena alasan hierarkis dan otoritarian. Semata-mata karena mereka membutuhkan koordinasi dalam menyerang The Walls. Posisi Rayder yang digelari King juga sebagai bentuk “tantangan” para Wildlings dalam memandang sistem kerajaaan di Westeros. Kita bisa melihat keserupaan ini dalam tentara Zapatista dan Rojava. Dalam pertempuran, koordinasi dibutuhkan baik vertikal namun horizontal. Namun, berbeda dengan sistem militer konservatif, tidak ada hak istimewa bagi koordinator yang ditunjuk. Baik koordinator antar kelompok sampai antar perwakilan. Setiap individu yang ikut berperang juga ikut dalam setiap aksi, dan tidak bersembunyi didalam bunker yang hangat. Bagaimana Wildlings menempatkan perempuan juga patut kita cermati. Perempuan Wildlings bukanlah makhluk kelas 2. Mereka juga berhak ambil bagian dalam setiap kegiatan. Baik berburu, merampas, sampai berperang. Perempuan Wildlings tidak dipojokkan dalam tenda, tapi sejajar seperti laki-laki. Perkara pernikahan yang terlihat “memaksa” mungkin bisa kita maklumi dengan melihat kondisi demografis dan geografis disana. Toh, perempuan disana juga punya hak melawan, dan hak untuk bercinta dengan yang dia inginkan. Yang terakhir, masyarakat Wildlings tidak memiliki kasta dalam mengatur kehidupannya. Mereka juga tidak memiliki kepemilikan properti. Kepemilikan yang ada ada hanyalah kepemilikan personal yang digunakan sebagai alat bertahan hidup. Melihat karakter masyarakat Wildlings, mungkin kita bisa menyamakan dengan Libertatia, koloni bebas yang dibangun oleh para bajak laut pada abad ke 17. Masyarakat Libertatia bisa dianggap sebagai bentuk masyarakat anarkis mula-mula

Jika kita percaya bahwa Wildlings adalah bentuk masyarakat yang terjadi dalam masyarakat anarkis, itu salah besar. Kita harus melihat kondisi lingkungan hidup mereka. Bagaimana keterbatasan dan kerasnya lingkungan membentuk masyarakat yang terkesan barbar. Namun, dibalik barbarnya Wildlings (atau barbarnya menurut peradaban Westeros), kita bisa melihat bagaimana kehidupan dijalankan dengan sangat baik tanpa ada penindasan diantara mereka. Tentu dengan kondisi yang memang tidak bersahabat. Bagaimana menurut kawan-kawan. Apakah Wildlings merupakan masyarakat anarkis, atau bukan?

-camarhitam- dan Bintang le Bleu

SEKOLAH ALTERNATIF: BAGAIMANA MEREKA MENDIDIK SECARA MERDEKA DAN “NAKAL”?

SEKOLAH ALTERNATIF: BAGAIMANA MEREKA MENDIDIK SECARA MERDEKA DAN “NAKAL”?

“Fungsi seorang anak adalah untuk hidup di kehidupannya sendiri. Bukan hidup yang dipikir harus dihidupinya oleh orang tua yang gelisah” – A. S. Neil

Ternyata banyak yang tertarik pada model pendidikan alternatif. Dan saya bisa memaklumi. Model pendidikan tradisional khas Indonesia tidak memberi kesempatan siswa untuk memerdekakan pikiran. Semata-mata merakit cara pikir untuk bertahan hidup (baca: menjadi pegawai). Penjejalan ilmu-ilmu yang tidak praktis dalam kekangan kurikulum menjadi sistem yang baku. Bahkan, perguruan tinggi yang sejatinya memberi ruang bagi mahasiswa bereksperimen sesuai ketertarikan serta membangun pemikiran individu menjadi pabrik pekerja sesuai kebutuhan industri (Arahan Kemenristek Dikti). Lalu, bagaimana dengan pendidikan alternatif? Apakah juga mencetak mesin-mesin intelektual industri?

Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya berisfat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman. Pendidikan alternatif yang akan saya bahas adalah pendidikan alternatif yang dikembangkan atas dasar kemerdekaan dan ketertarikan individu. Bukan pendidikan alternatif yang berfokus pada “anak bermasalah”. Penidikan alternatif yang “anarkis” dengan mengutamakan demokrasi, kesetaraan, dan kemerdekaan. Model pendidikan ini dikembangkan oleh Alexander Sutherland Neil, pendiri dari Summerhill School di Inggris. Jadi, jangan sampai ada pemikiran bahwa model sekolah alternatif hanya sebatas teori utopis.

Lalu apa yang menjadi metode sebuah sekolah alternatif? Poin-poin ini adalah hasil riset saya dengan membandingkan beberapa sekolah alternatif yang ada. Tapi memang saya berfokus pada 2 sekolah: Summerhill School dan Sanggar Anak Alam

1. Sekolah hadir sesuai kebutuhan murid: sekolah alternatif tidak membangun sebuah konsep pendidikan dimana setiap murid harus menjadi “seseorang” sesuai konsep. Murid diarahkan sebagai pribadi yang unik, bukan keseragaman. Sekolah alternatif hanya menjadi wadah ekspresi dan penggalian ide murid didalamnya. Maka tidak akan ditemui keseragaman dan “kepatuhan” baku di dalam sekolah alternatif.
2. Tanpa kurikulum: ini adalah inti dari sebuah sekolah alternatif. Kurikulum dipandang sebagai bentuk dogmatis yang tidak mengindahkan keunikan setiap individu. Satu-satunya kebakuan yang mirip kurikulum pada sekolah alternatif adalah pendidikan basis kehidupan. Seperti kemampuan membaca, menulis, riset, berhitung dasar, dan beberapa basis bertahan hidup termasuk pemahaman hak individu. Tidak ada pendidikan karakter yang menggolongkan murid sebagai “patuh” dan nakal. Sekolah alternatif tidak memandang “kenakalan” sebagai sebuah cacat, melainkan sebagai bentuk ekspresi yang lahir dari dalam pikiran. Satu-satunya kenakalan hanyalah melanggar hak individu lain, hanya itu.
3. Digolongkan sesuai kebutuhan: beberapa “kelas” di pendidikan alternatif sering terpaksa mengikuti regulasi umum; berdasarkan usia. Tetapi tidak menutup kemungkinan dalam diskusi dan riset, berbagai usia akan berdiskusi bersama.
4. Kesepakatan bersama: inilah praktik demokrasi langsung yang diaplikasikan di sekolah alternatif. Setiap murid bebas berpendapat dalam lingkup mereka. Setiap keputusan yang berpengaruh diputuskan bersama, dan tidak hanya hasil pemikiran para fasilitator. Kembali pada basik utama sekolah alternatif yang hadir sesuai kebutuhan murid, dan bukan sebaliknya.
5. Tidak ada guru: yang dimaksud disini adalah guru yang mengendalikan pembelajaran murid. Sekolah alternatif memakai fasilitator sebagai pembimbing murid. Fasilitator pun memiliki hak demokratis dan tidak dikekang untuk “mendidik”. Fasilitator pun dibebaskan dalam proses belajar tanpa berhak untuk mengatur murid kecuali mengarahkan agar pembelajaran kondusif. Arahan ini pun bukan arahan keras ala sekolah konvensional tetapi lebih berupa ajakan dan membangun kesadaran. Beberapa sekolah alternatif memiliki “kepala sekolah”. Tetapi peran kepala ini pun lebih dalam keperluan birokratis sedangkan sang kepala sekolah tetap sejajar dan egaliter.
6. Berbasis riset: berbeda dengan sekolah konvensional yang mendidik dengan “mata pelajaran”, murid di sekolah alternatif berfokus pada riset personal. Murid tidak diajak belajar hapalan yang terstruktur, tetapi berfokus pada apa yang ingin dipelajari dan apa yang perlu dipelajari. Setiap siswa diajak untuk menggali permasalahan yang ditemui, atau ketertarikan pribadi. Hasil dari menggali tersebut akan menjadi riset siswa. Biasanya akan dibangun kesepakatan mengenai lama riset dan media riset, disesuaikan dengan kemampuan sekolah. Seringkali sekolah alternatif meminta bantuan pihak luar sebagai fasilitator apabila riset siswa apabila fasilitator “tetap” disana kurang mampu mendukung riset siswa. Dan riset yang dilakukan sangat bebas dan cenderung praktis. Mulai dari metode menjahit, bertani, sampai riset “ilmiah” seperti penyakit. Dan hasil riset ini akan dipresentasikan seperti sidang skripsi. Dan orang tua tidak dibatasi dalam ikut mendampingi murid, bahkan ditekankan riset terbaik didasari apa yang ditemukan di keluarga. Posisi orang tua menjadi penting karena merekalah yang menjadi pendamping awal murid dan memiliki waktu bertemu lebih tinggi.
7. Swakelola: sekolah alternatif biasanya “dihidupi” secara swakelola. An yang terlibat dalam swakelola ini adalah semua pihak; fasilitator, murid, dan orang tua murid. Mulai dari pendanaan, pengadaan peralatan, pemeliharaan bangunan, sampai keputusan-keputusan vital diambil bersama. Dan sekali lagi dalam suasana demokrasi langsung.
8. Ijazah tidak penting: ini yang menjadi “minus” sekolah alternatif di mata masyarakat umum. Sekolah alternatif tidak menyediakan ijazah atau sertifikat. Karena dipandang ijazah hanya menghalangi kebebasan murid dan menjadikan murid sebagai produk. Tetapi, sekolah alternatif sering “bermain” untuk memenuhi kebutuhan murid akan ijazah. Di Indonesia, apabila murid memerlukan ijazah, maka di “kelas” terakhir murid akan diajak melakukan riset tentang soal ujian nasional dan akan dibantu untuk mengikuti kejar paket. Tetapi, kebanyakan orang tua tidak memikirkan ijazah dan lebih menekankan pada apa yang terbentuk di dalam siswa

Model pendidikan ini menjadi “perlawanan” terhadap regulasi otoritas. Sekolah alternatif menunjukkan bahwa pendidikan haruslah mengutamakan murid, bukan mendoktrin murid dengan nilai-nilai yang menjadikan murid seperti robot. Tentu banyak “kekurangan” sekolah alternatif, terutama jika dilihat dari sudut pandang “pemerintah”. Tapi, apakah kekurangan ini menjadi sesuatu yang harus dihindari, atau kekurangan ini semata-mata bentuk untuk mencegah murid belajar diluar kurikulum dan diluar harapan otoritas dalam mencetak “calon roda gigi peradaban” (dibaca: calon roda gigi industri)?

-camarhitam-

Pledoi kepada kawan-kawan yang dilabeli “anarkis kutu buku” dan “anarkis akademis”.

MEMBACA ≠ TERDOGMA, MENULIS ≠ MENDOGMA
Pledoi kepada kawan-kawan yang dilabeli “anarkis kutu buku” dan “anarkis akademis”.

“Anarkisme Tidak Perlu Guru, Karena Ada Di Dalam Dirimu” -Seseorang yang tanpa sengaja kulihat di beranda-

Entah bagaimana ceritanya, akhir-akhir ini saya menemukan kecenderungan baru. Dengan dalih anti dogma, banyak yang cenderung menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan. Banyak dari mereka memandang anarkisme adalah sesuatu yang tidak perlu dipelajari ataupun digurui. Dan pandangan ini menuju pada satu titik dimana kita tidak perlu belajar apapun dan percaya pada intuisi. Makin jauh, pandangan ini menjadi alasan untuk membenci seseorang yang menyampaikan pendapat ataupun teori ilmiah atas dasar doktrinasi.

Di satu sisi, saya meyetujui. Anarkisme bukanlah sebuah dogma yang harus dibaca dibawah lampu meja. Menjadi anarkis bukanlah mengamalkan nilai-nilai yang ditulis tebal dalam buku.anti dogma bukanlah dengan mengangguk-angguk takzim pada jerit berapi-api seseorang. Sebagaimana yang diungkapkan Emma Goldman “Anarkisme, pada akhirnya berarti pembebasan pikiran manusia dari dominasi reliji; pembebasan tubuh dari dominasi properti; pembebasan dari belenggu dan kekangan pemerintah.” Disini bisa kita lihat bahwa anarkisme menghindari adanya dominasi pikiran. Selain reliji, dogma pun adalah alat dominasi tersebut. Lalu, apakah ini berarti anarkisme melawan bentuk belajar, membaca, menulis, dan literasi lain?

Saya pikir tidak

Bukan berarti anarkisme melarang seseorang menjadi kutu buku. “Tidak ada yang lebih layak daripada kamu sendiri untuk menentukan bagaimana kamu hidup.” (Crimenthinc). Pada dasarnya kitalah yang berhak menentukan jalan hidup kita, termasuk dalam urusan literasi. Kita bebas untuk membaca seluruh buku yang ada di dunia, atau menutup mata dari setiap literasi yang ada. Semua kembali pada kita sendiri dan bagaimana buku menjadi kebutuhan kita. Namun, apakah tepat memandang remeh belajar terutama membaca?

Saya rasa, ada salah paham disini. Ketika kita bicara “belajar”, maka kita bicara bagaimana seseorang melakukan proses perubahan di dalam kepribadiannya. Hasil belajar ini tampak dalam tingkah laku dan kecakapan kedepan. Berarti, belajar tidak bisa disamakan dengan indoktrinasi. Belajar adalah proses personal yang memang mutlak terjadi. Otak manusia tidak pernah menyimpan memori untuk memegang sendok, maka dari itu dia perlu belajar memegang sendok. Belajar adalah bagian dari upaya kita dalam bertahan hidup. Jika kita tidak belajar membuat api, kita akan mati. Cara membuat api tidak pernah ditransfer dari orang tua ke anak lewat plasenta. Semua harus dipelajari.

Dalam “belajar” anarkisme, saya juga memandang itu bukan bentuk doktrinasi dogmatis. Dan sebaiknya tidak seperti itu sama sekali. Belajar mengenai anarkisme adalah bekal bagi kita untuk memahami anarkisme dalam setiap diri orang. Kita sedang memahami individualitas kita, dan tidak sedang menyematkan nilai-nilai dogmatis dalam alam pikir kita. Mempelajari anarkisme juga sebagai bentuk latih pada pikiran logis dan kritis. Ketika kita menemukan kata-kata seperti “ambilah roti itu”, disini pikiran kita akan bekerja untuk mempertimbangkan. Logika kita akan memahami setidaknya kapan kita harus mencuri sebuah roti. Apabila kita pandang kata itu sebagai dogma, maka kita akan mencuri roti seperti seorang nasionalis menghormati bendera. Dan, penolakan pada memahami anarkisme dan membuka diri pada literasi anarkis, saya rasa kurang tepat. Hidup yang kita jalani tetaplah bisa menjadi laboratorium dan perpustakaan kita dalam memahami anarkis. Namun, kehadiran literasi adalah cara cepat kita dalam memahami bagaimana kita hidup. Terlebih lagi, mungkin lebih dari 90% diantara kita telah terdogma secara masif sejak kecil. Seperti contoh: seksisme. Banyak diantara kita yang diajarkan laki-laki adalah manusia kuat yang mengatur perempuan. Pengulangan dogma ini di setiap kesempatan tentu akan mempengaruhi bagaimana kita berpikir sampai tingkat dasar, sampai dibawah alam sadar. Literasi anarkis menjadi cara kita, untuk sedikit-demi sedikit, melepaskan diri dari dogma mengakar itu.

Bagaimana dengan orang-orang yang gemar menulis tentang anarkisme? Misal, para admin Black Voice. Apakah mereka sedang mendogma?

Tidak juga. Meskipun semua dikembalikan pada personal. Bisa jadi mereka ingin menjadi pelopor, bisa juga karena sesederhana bernafas. Mengingat kata-kata Malatesta “Kita semua egois, mencari kepuasan sendiri. Namun kaum anarkis mendapati kepuasan terbesarnya dalam perjuangan untuk kebaikan bersama, untuk mencapai masyarakat yang di dalamnya ia (demikian) dapat menjadi saudara di antara lainnya, dan diantara orang-orang yang sehat, cerdas, terdidik, dan bahagia.” Seorang anarkis menyuarakan anarkisme dalam karya, tentu karena cita-cita membangun masyarakat yang sadar bahwa setiap manusia bisa bebas dari dogma. Menulis juga bentuk dari mutual aid, dimana seseorang yang memiliki kemampuan menulis akan menulis sebagai bentuk hubungan timbal balik, Kadang kala, alasan seseorang menulis sangat sederhana: aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah kebutuhan puncak manusia dalam segitiga kebutuhan manusia. Aktualisasi diri ini sangat sederhana, yaitu seseorang akan membutuhkan kesempatan untuk memaksimalkan penggunaan kemampuan dan potensi diri. Tujuannya adalah pemenuhan keberadaan diri (self fulfillment). Menulis adalah salah satu bentuk memenuhi kebutuhan individu, dan tidak ada yang berhak menghalanginya. Dan jika kalian merasa tulisan-tulisan anarkisme adalah pelanggaran dan gangguan terhadap individualitas, Max Stirner pun menulis.

Dan pada akhirnya, seorang anarkis berhak untuk menentukan apa yang tepat bagi dirinya. Beberapa individu lebih menikmati hidup jauh dari buku-buku berdebu, sisanya menikmati menghabiska berbagai macam buku dan ilmu didalamnya. Kita perlu selalu membangun kesadaran dalam diri, agar apa yang kita pelajari tidak berakhir sebagai dogma yang diamini dengan membabi buta. Namun, apakah kita harus separanoid itu terhadap hadirnya ilmu pengetahuan? Transfer ilmu antar idividu tetaplah menjadi bagian dari pemenuhan kebutuhan. Menulis juga menjadi bagian dari hak tiap individu untuk mengaspirasikan apa yang ada di dalam dirinya. Menghalangi atau menyerang secara verbal seseorang yang sedang belajar ataupun menulis, aku rasa itu bentuk pelanggaran pada hak individual. Dan mengenai pengetahuan dan kecerdasan, aku ingin mengingat quote Emma Goldman: “Orang-orang hanya memiliki kemerdekaan sebanyak mereka memiliki kecerdasan untuk ingin dan keberanian untuk mengambil”
BE A NERD, BE AN ANARCHIST

-camarhitam-

PERS RELEASE SAMAR: PT.RUM (MASIH) TERUS BERULAH

PERS RELEASE SAMAR: PT.RUM (MASIH) TERUS BERULAH


PT. Rayon Utama Makmur (PT.RUM) kembali mencemari lingkungan. Tepatnya tengah malam, Jumat 21 Juni 2019 puluhan warga Ngrapah, Tawang Krajan, dan Badran Kenteng, kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah kembali mengeluhkan bau busuk yang bersumber dari PT. RUM.
Akibat bau busuk tersebut mereka terpaksa harus keluar dari rumah dan menuju PT. RUM sambil berteriak agar PT. RUM menghentikan proses produksinya. Meskipun tidak lama kemudian mesin produksi serat rayon dimatikan oleh PT. RUM, namun tetap saja apa yang dilakukan oleh PT.RUM sangat meresahkan warga, karena tepat tengah malam yang sewajarnya waktu warga untuk beristirahat, justru diganggu oleh kegiatan produksi PT. RUM yang selama ini memang sering menimbulkan bau busuk menyengat.
Alih-alih memperbaiki pengolahan limbah, pelanggaran demi pelanggaran masih terus dilakukan oleh pihak PT.RUM, dari mulai tak menggubris SK Bupati hingga tak peduli dengan nasib rakyat disekitar pabrik yang setiap hari menghirup gas beracun hasil limbah PT.RUM. Sampai saat ini PT. RUM terus melancarkan kegiatan produksinya (dengan dalih uji coba) dan tidak ada tanda-tanda keseriusan PT. RUM untuk memperbaiki sistem pengolahan limbah yang dihasilkan dari kegiatan produksinya. Hal ini diitandai dengan belum maksimalnya pengendalian emisi sehingga menimbulkan dampak bau di sekitar wilanyah kecamatan Nguter, pemasangan pipa belum maksimal dan bahkan warga kerap kali menemukan pipa-pipa pembuangan limbah yang bocor, sehingga memperparah pencemaran lingkungan.
Jika merujuk pada surat keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati Sukoharjo tanggal 23 Februari 2018 lalu, tinggal 60 hari lagi kesempatan bagi PT. RUM untuk memperbaiki pengolahan limbah (baik limbah cair maupun limbah udara) agar tidak mencemari lingkungan.
Warga meyakini sepenuhnya bahwa kegiatan produksi serat rayon PT. RUM yang masih ada ikatan dengan SRITEX sama sekali tidak akan pernah menghadirkan kesejahteraan untuk warga. Justru sebaliknya, kegiatan produksi tersebut akan mengantarkan bumi Sukoharjo ke dalam situasi krisis sosial-ekologis yang parah. Padahal di Kecamatan Nguter ini potensi ekonomi melalui wilayah-wilayah kelola masyarakyat telah menunjukkan bahwa rakyat bisa sejahtera tanpa adanya industri skala besar yang hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Kehadiran PT. RUM ini justru merusak ekonomi rakyat, ekologi, dan sosial masyarakat Sukoharjo yang telah dibangun selama ini.
Berbagai perjuangan rakyat Sukoharjo untuk menutup PT. RUM hingga berujung kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan berawal dari masalah pencemaran limbah (baik udara maupun air) yang dihasilkan oleh PT. RUM menyebar di pemukiman dan sungai warga. Serangkaian aksi demonstrasi berulang-ulang kali dilakukan sejak akhir tahun 2017 hingga saat ini. Namun hasil demi hasil kesepakatan yang telah terlahir dari berbagai aksi demonstrasi tidak serta merta dapat menghentikan korporasi besar ini. PT. RUM masih tetap becokol dan menyebar racun di lingkungan masyarakat Sukoharjo.
Hukum memang tajam ke bawah dan tumpul ke atas, dan memang disengaja oleh para penguasa untuk menumpulkan hukum bagi segelintir orang yang memiliki modal berlebih di bidang ekonomi demi melipatgandakan keuntungan. Negara dengan berbagai alat represifnya kerap berpihak kepada kelas yang memiliki modal berlebih. Di saat PT. RUM melancarkan kegiatannya, yang mengakibatkan kerugian besar bagi war sekitar, di mata penguasa seolah tidak ada apa-apa. Namun jika rakyat mengekspresikan kemarahannya dan menuntut hak-hak nya yang direnggut, negara dan alat represifnya memperlakukan warga bak virus mematikan yang harus ditumpas habis.
Oleh karena itu, berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, dimana kemenangan-kemenangan kecil berhasil kita raih dengan bersatunya unsur solidaritas dan warga Sukoharjo dalam melawan PT. RUM beserta kroni-kroninya, kami, Aliansi Sukoharjo Melawan Racun (SAMAR) kembali mengajak seluruh unsur solidaritas dan warga Sukoharjo yang selama ini ditindas oleh PT. RUM untuk kembali mengkonsolidasikan diri, menyiapkan perlawanan, lalu menyerang untuk melumpuhkan musuh (PT. RUM) sampai setuntas-tuntasnya.

“Kemenangan bagi orang-orang tertindas hanya akan datang jika sesama rakyat tertindas di seluruh dunia bersatu padu saling bergandengan tangan melawan musuh-musuhnya”

Panjang Umur Persatuan Rakyat
Kami tunggu kehadiran kalian di barisan perlawanan!

Apa Itu Anarko Pasifis?

THREAD : Apa Itu Anarko Pasifis?
SUBJEK : Anarko Pasifis
TUJUAN : Untuk Mengetahui Apa Itu Anarko-Pasifis
Tulisan diambil dari : Anarkis.org

pasifis telah ada cukup lama dalam anarkisme, dengan Leo Tolstoy sebagai figur utamanya. Aliran ini biasa disebut “anarko pasifisme” (term “anarkis anti kekerasan” kadang-kadang digunakan, namun disayangkan karena term ini menunjukkan bahwa gerakan-gerakan lainnya bersifat “kejam”, dan itu tidak benar!). Serikat anarkisme dan pasifisme dipengaruhi oleh gagasan dan argumentasi fundamental mengenai anarkisme. Bagaimanaun juga kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau yang merugikan, merupakan sarana kunci yang merusak kebebasan individu. Seperti yang ditunjukkan oleh Peter Marshall, “karena kaum anarkis menghargai kebebasan individu, dalam waktu yang lama, nilai-nilai anarkis menunjukkan sifat anti kekerasan dan bukan kekerasan.” (Demanding The Impossible, hal 637) Malatesta bahkan lebih eksplisit lagi dalam tulisannya, bahwa “bagian utama dari anarkisme adalah pemindahan kekerasan dari hubungan manusia” dan bahwa anarkis “melawan kekerasan”. (Life and Ideas, hal 53)

Namun, meski banyak kaum anarkis yang menolak kekerasan dan menyatakan pasifisme, pada umumnya, gerakan secara esensial tidak bersifat pasifistis (dalam artian melawan semua bentuk kekerasan setiap saat). Anarkisme anti militer, malah melawan kekerasan negara yang terorganisir, namun demikian mengakui bahwa ada perbedaan penting antara kekerasan penindas dengan kekerasan tertindas. Hal ini menjelaskan mengapa gerakan anarkis selalu meluangkan banyak waktu dan energi untuk melawan mesin militer dan perang kapitalis, sementara diwaktu yang sama mendukung dan mengorganisir perlawanan bersenjata melawan penindasan (seperti dalam kasus pasukan Makhnovist selama revolusi Rusia yang melawan baik pasukan putih maupun merah serta milisi-milisi anarkis yang diorganisir untuk melawan kaum fasis selama revolusi Spanyol– lihat bagian A.5.4 dan A.5.6 dengan berturut-turut).
Dalam hal anti kekerasan, seperti yang sudah-sudah, gerakan dibagi antara garis individualis dan sosial. Sebagian besar kaum anarkis individualis mendukung taktik tanpa kekerasan terhadap perubahan sosial seperti halnya kaum mutualis. Namun, anarkisme individualis tidak bersifat pasifis seperti itu, karena banyak juga yang mendukung gagasan kekerasan dalam mempertahankan diri melawan serangan. Sebagian besar kaum anarkis sosial, di sisi lain, benar-benar mendukung penggunaan kekerasan revolusioner, mereka benar-benar memegang teguh pendapat bahwa paksaan fisik akan diperlukan untuk merobohkan kekuasaan yang telah berurat akar dan untuk melawa serangan negara serta kapitalis (meski Bart de Ligt yang menulis karya klasik pasifis, The Conquest of Violence, adalah seorang anarko sindikalis). Seperti yang dikatakan Malatesta, kekerasan, meski “jahat” dapat dibenarkan hanya jika diperlukan untuk mempertahankan diri seseorang dan lainnya dari kekerasan” dan bahwa “seorang budak selalu dalam keadaan bertahan dan akibatnya kekerasan yang dilakukannya untuk melawan majikan, penindas, secara moral selalu dapat dibenarkan.” (op.cit., hal 55, 53-54) Terlebih lagi, mereka menekankan bahwa, menggunakan kata-kata Bakunin, karena penindasan sosial “lebih berasal dari pengaturan dan keadaan sosial bukannya individu”, kaum anarkis bertujuan untuk “menghancurkan keadaan dan segala sesuatunya dengan kejam” dan bukan orang-orangnya, karena tujuan revolusi anarkis adalah untuk berakhirnya kelas-kelas yang memiliki hak-hak istimewa “bukan sebagai individu melainkan sebagai kelas.” (dikutip oleh Ricard B. Saltman, The Social and Plitical Thought of Michael Bakunin, hal 121, 124, 122)
Tentu saja, masalah kekerasan secara relatif tidak penting bagi sebagian besar kaum anarkis, karena mereka tidak mengagungkannya dan berpikir untuk meminimalkannya selama revolusi atau perjuangan sosial apapun. Semua anarkis sepakat dengan anarko sindikalis pasifis Belanda, Bart de Ligt, ketika ia menyatakan bahwa “kekerasan dan peperangan yang merupakan karakteristik dunia kapitalis tidak sejalan dengan kebebasan individu, yang merupakan misi bersejarah kelas-kelas yang tereksploitasi. Semakin besar kekerasan, semakin lemah revolusi, bahkan di manapun kekerasan secara sengaja dijadikan sarana revolusi.” (The Conquest of Violence, hal 75).
Begitu juga semua anarkis sepakat dengan de Ligt, menggunakan judul salah satu bab dalam bukunya, “The Absurdity of Bouergeois Pasifism.” Bagi de Ligt, dari semua anarkis, kekerasan inhern dalam sistem kapitalis dan usaha apapun untuk membuat kapitalisme bersifat pasif akan mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan, di pihak lain, perang seringkali hanyalah sebuah kompetisi ekonomi yang dilakukan dengan cara lain. Bangsa-bangsa seringkali berperang ketika menghadapi krisis ekonomi, apa yang tak dapat mereka peroleh dalam perjuangan ekonomi akan berusaha didpatkan melalui konflik. Di sisi lain, “kekerasan sangat diperlukan dalam masyarakat modern… (karena) tanpa itu kelas berkuasa akan benar-benar kesulitan mempertahankan posisi istimewanya yang terkait dengan massa yang dieksploitasi di tiap-tiap negara. Angkatan bersenjata digunakan pertama dan terutama untuk mengendalikan para pekerja… ketika mereka tidak puas.” (Bart de Ligt, op.cit., hal 62) Selama negara dan kapitalisme ada, kekerasan tak dapat dielakkan dan sehingga, bagi kaum anarko pasifis, pasifis yang konsisten pastilah seorang anarkis, sama halnya seorang anrkis yang konsisiten pastilah seorang pasifis.
Bagi kaum anarkis yang bukan pasifis, kekerasan merupakan sesuatu yang sangat disayangkan namun tak dapat dihindari sebagai hasil dari penindasan dan eksploitasi, sekaligus sebagai satu-satunya sarana yang digunakan agar kelas-kelas istimewa yang memiliki hak-hak istimewa meninggalkan kekuasaan dan kekayaan mereka. Mereka yang berkuasa jarang menyerahkan kekuasaannya, sehingga harus dipaksa. Karena itu, kebutuhan akan kekerasan “transisional untuk mengakhiri kekerasan yang jauh lebih besar, dan permanan, yang menyebabkan mayoritas umat manusia berada dalam perbudakan.” (Malatesta, op.cit., hal 55) Berkonsentrasi pada isu kekerasan melawan anti kekerasan merupakan pengabaian isu sesungguhnya, yaitu bagaimana kita mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Seperti pendapat Alexander Berkman, kaum aanarkis yang pasifis ini mengacaukan isu, seperti halnya mereka yang berpikir bahwa ”menyingsingkan baju untuk kerja sama dengan bekerjaa itu sendiri.” Sebaliknya, “bagian perjuangan dalam revolusi hanyalah menyingsingkan bajumu semata-mata. Tugas aktual yang nyata ada di depan.” (ABC of Anarchism, hal 40) Malah, sebagian besar revolusi dan perjuangan sosial secara relatif berawal dengan damai (melalui pemogokan, pendudukan, dan lain-lain) dan hanya diubah ke dalam kekerasan ketika mereka yang berkuasa mencoba mempertahankan posisi mereka (contoh klasik mengenai hal ini adalah peristiwa di Italia, tahun 1920, ketika terjadi pendudukan pabrik-pabrik oleh para pekerjanya yang kemudian diikuti dengan teror fasis–lihat bagian A.5.5)
Seperti yang dituliskan diatas, semua anarkis anti militer dan melawan mesin militer (dan juga industri “pertahanan”) seperti halnya perang negara / kapitalis (meski ada beberapa anarkis seperti Rudolf Rocker dan Sam Dolgoff, yang mendukung pihak kapitalis anti fasis selama perang dunia kedua sebagai iblis yang tak terlalu jahat). Pesan anti mesin perang dari para anarkis dan anarko sindikalis disebar luaskan jauh sebelum perang dunia pertama dimulai, dengan kaum sindikalis dan anarkis di Britania dan Amerika Utara yang mencetak kembali leaflet CGT Perancis yang mendorong serdadu agar tidak mematuhi perintah dan tidak menekan para pekerja yang mogok. Emma Goldman dan Alexander Berkman ditangkap dan dideportasi dari Amerika karena mengorganisir “No-Conscription League”di tahun 1917, sementara itu banyak kaum anarkis Eropa yang dipenjara karena menolak bergabung dengan angkatan bersenjata di perang dunia pertama dan kedua.Kaum anarko sindikalis yang terpengaruh IWW dihancurkan oleh gelombang represi pemerintah yang kejam berkaitan dengan ancaman organisasi dan pesan anti perang yang ditunjukkan pada elit-elit berkuasa yang mendukung perang. Yang lebih baru lagi, kaum anarkis, (termasuk orang-orang seperti Noam Comsky dan Paul Goodman) aktif dalam gerakan perdamaian seperti memberikan kontribusi pada perlawanan terhadap wajib militer. Kaum anarkis ikut berperan aktif dalam melawan perang, seperti perang Vietnam, perang Falklands, seperti juga perang Teluk (termasuk, di Italia, membantu mengorganisir pemogokan sebagai protes melawannya). Dan selama konflik terakhir ini, ketika banyak kaum anarkis meneriakkan slogan “tak ada perang selain perang kelas” yang dengan manisnya menyimpulkan perlawann kaum anarkis pada perang–yaitu konsekuensi kejam dari sistem kelas, yang di dlamnya kelas-kelas tertindas diberbagai negara saling membunuh demi kekuasaan dan keuntungan penguasa mereka. Daripada ikut ambil bagian dalam pembunuhan massal yang terorganisir ini, kaum anarkis mendorong kaum pekerja untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri dari pada kepentingan majikannya:
“Daripada sekedar menghindari kompromi; memperdalam perbedaan antara kaum kapitalis dan budak upaahn, antara penguasa dan yang dikuasai; mengajarkan pengambilalihan kepemilikan pribadi dan destruksi negara sebagai satu-satunya cara menjamin persaudaraan di antara manusia, serta keadilan dan kebebasan bagi semuanya; dan kita harus siap menuntaskan semua ini.” (Malatesta, op.cit., hal. 251)
[harus dicatat di sini bahwa pernyataan Malatesta ditulis untuk melawan Peter Krooptkin yang, untuk alasan yang hanya ia ketahui sendiri, menolak semua yang argumen Malatesta selama beberapa dekade dan mendukung aliansi dalam perang dunia pertama sebagai iblis yang tak terlalu jahat melawan otoritarianisme Jerman dan imerialisme. Tentu saja, seprti yang ditunjukkan Malatesta, “semua pemerintah dan kelas kapitalis” memiliki “perlakuan buruk… terhadap pekerja dan pemberontak di negara mereka.” (op.cit., hal 46)]
Jadi, ketertarikan pasifisme bagi kaum anarkis merupakan hal yang jelas. Kekerasan bersifat otoriter dan koersif, sehingga penggunaannya kontradiksi dengan prinsip-prinsip kaum anarkis. Inilah sebabnya mengapap kaum anarkis sepakat dengan Malatesta ketika ia berpendapat bahwa “kita berprisip melawan kekerasan untuk alasan ini berharap agar perjuangan sosial dilakukan semanusiawi mungkin.” (op.cit., hal 57) Sebagian besar, jika tidak semua, kaum anarkis yang bukan pasifis sepakat dengan pasifis anarkis ketika mereka menyatakan bahwa kekerasan seringkali dapat bersifat tidak produktif, mengasingkan orang dan memberi alasan bagi negara untk menekan gerakan anarkis dan gerakan rakyat untk perubahan sosial. Semua kaum anarkis mendukung aksi langsung tanpa kekerasan dan pembangkangan sipil, yang seringkali memberikan jalan yang lebih baik menuju jalan radikal.
Jadi, sebagai kesimpulan, tidak terlalu banyak kaum anarkis yang benar-benar pasifis. Sebagian besar menerima penggunaan kekerasan sebagai kejahatan yang diperlukan dan pembelaan tetapi diusahakan meminimalkan penggunaannya. Semua sepakat bahwa revolusi merupakan kekerasan yang terlembagakan dan hanya akan memunculkan negara kemmbali dalam suattu bentuk baru. Namun, mereka berpendapat bahwa menghancurkan kekuasaan atau menggunakan kekerasan untuk melawan kekerasan bukanlah tindakan otoriter. Karena itu, meski sebagian besar kaum anarkis bukan pasifis, sebagian besar menolak kekerasan kecuali dalam hal mempertahankan diri dan bahkan berusaha meminimalkan.

-RohanOV