SEKOLAH ALTERNATIF: BAGAIMANA MEREKA MENDIDIK SECARA MERDEKA DAN “NAKAL”?

SEKOLAH ALTERNATIF: BAGAIMANA MEREKA MENDIDIK SECARA MERDEKA DAN “NAKAL”?

“Fungsi seorang anak adalah untuk hidup di kehidupannya sendiri. Bukan hidup yang dipikir harus dihidupinya oleh orang tua yang gelisah” – A. S. Neil

Ternyata banyak yang tertarik pada model pendidikan alternatif. Dan saya bisa memaklumi. Model pendidikan tradisional khas Indonesia tidak memberi kesempatan siswa untuk memerdekakan pikiran. Semata-mata merakit cara pikir untuk bertahan hidup (baca: menjadi pegawai). Penjejalan ilmu-ilmu yang tidak praktis dalam kekangan kurikulum menjadi sistem yang baku. Bahkan, perguruan tinggi yang sejatinya memberi ruang bagi mahasiswa bereksperimen sesuai ketertarikan serta membangun pemikiran individu menjadi pabrik pekerja sesuai kebutuhan industri (Arahan Kemenristek Dikti). Lalu, bagaimana dengan pendidikan alternatif? Apakah juga mencetak mesin-mesin intelektual industri?

Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya berisfat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman. Pendidikan alternatif yang akan saya bahas adalah pendidikan alternatif yang dikembangkan atas dasar kemerdekaan dan ketertarikan individu. Bukan pendidikan alternatif yang berfokus pada “anak bermasalah”. Penidikan alternatif yang “anarkis” dengan mengutamakan demokrasi, kesetaraan, dan kemerdekaan. Model pendidikan ini dikembangkan oleh Alexander Sutherland Neil, pendiri dari Summerhill School di Inggris. Jadi, jangan sampai ada pemikiran bahwa model sekolah alternatif hanya sebatas teori utopis.

Lalu apa yang menjadi metode sebuah sekolah alternatif? Poin-poin ini adalah hasil riset saya dengan membandingkan beberapa sekolah alternatif yang ada. Tapi memang saya berfokus pada 2 sekolah: Summerhill School dan Sanggar Anak Alam

1. Sekolah hadir sesuai kebutuhan murid: sekolah alternatif tidak membangun sebuah konsep pendidikan dimana setiap murid harus menjadi “seseorang” sesuai konsep. Murid diarahkan sebagai pribadi yang unik, bukan keseragaman. Sekolah alternatif hanya menjadi wadah ekspresi dan penggalian ide murid didalamnya. Maka tidak akan ditemui keseragaman dan “kepatuhan” baku di dalam sekolah alternatif.
2. Tanpa kurikulum: ini adalah inti dari sebuah sekolah alternatif. Kurikulum dipandang sebagai bentuk dogmatis yang tidak mengindahkan keunikan setiap individu. Satu-satunya kebakuan yang mirip kurikulum pada sekolah alternatif adalah pendidikan basis kehidupan. Seperti kemampuan membaca, menulis, riset, berhitung dasar, dan beberapa basis bertahan hidup termasuk pemahaman hak individu. Tidak ada pendidikan karakter yang menggolongkan murid sebagai “patuh” dan nakal. Sekolah alternatif tidak memandang “kenakalan” sebagai sebuah cacat, melainkan sebagai bentuk ekspresi yang lahir dari dalam pikiran. Satu-satunya kenakalan hanyalah melanggar hak individu lain, hanya itu.
3. Digolongkan sesuai kebutuhan: beberapa “kelas” di pendidikan alternatif sering terpaksa mengikuti regulasi umum; berdasarkan usia. Tetapi tidak menutup kemungkinan dalam diskusi dan riset, berbagai usia akan berdiskusi bersama.
4. Kesepakatan bersama: inilah praktik demokrasi langsung yang diaplikasikan di sekolah alternatif. Setiap murid bebas berpendapat dalam lingkup mereka. Setiap keputusan yang berpengaruh diputuskan bersama, dan tidak hanya hasil pemikiran para fasilitator. Kembali pada basik utama sekolah alternatif yang hadir sesuai kebutuhan murid, dan bukan sebaliknya.
5. Tidak ada guru: yang dimaksud disini adalah guru yang mengendalikan pembelajaran murid. Sekolah alternatif memakai fasilitator sebagai pembimbing murid. Fasilitator pun memiliki hak demokratis dan tidak dikekang untuk “mendidik”. Fasilitator pun dibebaskan dalam proses belajar tanpa berhak untuk mengatur murid kecuali mengarahkan agar pembelajaran kondusif. Arahan ini pun bukan arahan keras ala sekolah konvensional tetapi lebih berupa ajakan dan membangun kesadaran. Beberapa sekolah alternatif memiliki “kepala sekolah”. Tetapi peran kepala ini pun lebih dalam keperluan birokratis sedangkan sang kepala sekolah tetap sejajar dan egaliter.
6. Berbasis riset: berbeda dengan sekolah konvensional yang mendidik dengan “mata pelajaran”, murid di sekolah alternatif berfokus pada riset personal. Murid tidak diajak belajar hapalan yang terstruktur, tetapi berfokus pada apa yang ingin dipelajari dan apa yang perlu dipelajari. Setiap siswa diajak untuk menggali permasalahan yang ditemui, atau ketertarikan pribadi. Hasil dari menggali tersebut akan menjadi riset siswa. Biasanya akan dibangun kesepakatan mengenai lama riset dan media riset, disesuaikan dengan kemampuan sekolah. Seringkali sekolah alternatif meminta bantuan pihak luar sebagai fasilitator apabila riset siswa apabila fasilitator “tetap” disana kurang mampu mendukung riset siswa. Dan riset yang dilakukan sangat bebas dan cenderung praktis. Mulai dari metode menjahit, bertani, sampai riset “ilmiah” seperti penyakit. Dan hasil riset ini akan dipresentasikan seperti sidang skripsi. Dan orang tua tidak dibatasi dalam ikut mendampingi murid, bahkan ditekankan riset terbaik didasari apa yang ditemukan di keluarga. Posisi orang tua menjadi penting karena merekalah yang menjadi pendamping awal murid dan memiliki waktu bertemu lebih tinggi.
7. Swakelola: sekolah alternatif biasanya “dihidupi” secara swakelola. An yang terlibat dalam swakelola ini adalah semua pihak; fasilitator, murid, dan orang tua murid. Mulai dari pendanaan, pengadaan peralatan, pemeliharaan bangunan, sampai keputusan-keputusan vital diambil bersama. Dan sekali lagi dalam suasana demokrasi langsung.
8. Ijazah tidak penting: ini yang menjadi “minus” sekolah alternatif di mata masyarakat umum. Sekolah alternatif tidak menyediakan ijazah atau sertifikat. Karena dipandang ijazah hanya menghalangi kebebasan murid dan menjadikan murid sebagai produk. Tetapi, sekolah alternatif sering “bermain” untuk memenuhi kebutuhan murid akan ijazah. Di Indonesia, apabila murid memerlukan ijazah, maka di “kelas” terakhir murid akan diajak melakukan riset tentang soal ujian nasional dan akan dibantu untuk mengikuti kejar paket. Tetapi, kebanyakan orang tua tidak memikirkan ijazah dan lebih menekankan pada apa yang terbentuk di dalam siswa

Model pendidikan ini menjadi “perlawanan” terhadap regulasi otoritas. Sekolah alternatif menunjukkan bahwa pendidikan haruslah mengutamakan murid, bukan mendoktrin murid dengan nilai-nilai yang menjadikan murid seperti robot. Tentu banyak “kekurangan” sekolah alternatif, terutama jika dilihat dari sudut pandang “pemerintah”. Tapi, apakah kekurangan ini menjadi sesuatu yang harus dihindari, atau kekurangan ini semata-mata bentuk untuk mencegah murid belajar diluar kurikulum dan diluar harapan otoritas dalam mencetak “calon roda gigi peradaban” (dibaca: calon roda gigi industri)?

-camarhitam-