Sekelumit Kisah Renzo Novatore

Renzo Novatore adalah nama pena dari Abele Rizieri Ferrari, seorang penyair individualis anarkis, ilegalis, dan antifasis Italia. Lelaki yang lahir pada 12 Mei 1890 ini adalah juga seorang filsuf sekaligus militan, yang sekarang terkenal karena publikasi bukunya Toward Creative Nothing serta hubungannya dengan futurisme sayap kiri. Max Stirner, Nietzsche, George Palante, Wilde, Henrik Ibsen, Schopenhauer, dan Charles Baudelaire merupakan orang-orang yang turut memperkaya pemikiran lelaki yang meninggal pada tahun 1922 ini.
Pada masa kecilnya, Renzo Novatore tak mampu menyesuaikan diri dengan disiplin sekolah dan keluar pada tahun pertamanya. Ketika dia bekerja di peternakan ayahnya, dia belajar sendiri dengan penekanan pada puisi dan filsafat. Di sekitar tempat tinggalnya, peyair yang lahir di Arcola, Liguria, Italia ini, dikelilingi oleh scene para anarkis yang sedang bersemangat, di mana kemudian dia membangun relasi yang dekat dengan mereka.
Kemudian, dia menemukan Errico Malatesta, Peter Kropotkin, Hendrik Ibsen, dan juga Nietzsche yang sering dia kutip, terutama Max Stirner. Pada tahun 1908 dia merengkuh individualis anarkis. Di tahun 1910, dia menjadi tersangka atas pembakaran gereja lokal dan menghabiskan tiga bulan di penjara, tapi partisipasinya dalam pembakaran tersebut tak pernah terbuktikan. Setahun kemudian, dia melarikan diri untuk beberapa bulan karena polisi mencarinya atas tuduhan pencurian dan perampokan. 30 September 1911, polisi menangkapnya karena melakukan vandalisme. Penyair yang juga seorang filsuf sekaligus militan ini, membenarkan penolakan atas kerja. Dia berpikir, dalam filosofi personal kehidupannya, bahwa dia punya hak merampas apa-apa saja dari orang-orang kaya untuk kebutuhan hariannya, dan menggunakan cara-cara kekerasan bukanlah sebuah masalah baginya.
Di tahun 1914, dia mulai menulis untuk koran anarkis. Dia telah membuat draf pada tahun 1912 tapi tidak selesai untuk alasan yang tidak diketahui. Tahun-tahun itu juga adalah momen di mana Perang Besar (Great War) semakin mendekati. Dia desersi dari kesatuannya pada 26 April 1918 dan dihukum mati oleh pengadilan militer atas desersi serta pengkhianatannya pada tanggal 31 Oktober. Dia melarikan diri dan meninggalkan desanya, sambil melakukan propaganda untuk desersi dari tentara dan melakukan pemberontakan bersenjata melawan negara.
Novatore terlibat dalam kolektif anarko-futuris di La Spezia di mana dia terlibat aktif bersama Auro d’Arcola dalam kelompok antifasis militan, Arditi del Popolo. Di sana dia sangat dekat dengan Enzo Martucci dan Bruno Flippi. Ayah dari dua anak ini menulis banyak artikel di koran-koran anarkis (Cronaca Libertaria, Il Libertario, Iconoclasta!, Gli Scamiciati, Nichilismo, Pagine Libere) di mana dia berdebat dengan para anarkis lainnya (di antaranya adalah Carnillo Berneri). Dia juga mempublikasikan sebuah majalah, Vertice, yang sayangnya menghilang setelah menerbitkan beberapa artikel saja.
Pada bulan Mei 1919, kota La Spezia berada di bawah kontrol dari kelompok yang mengklaim dirinya Komite Revolusioner dan dia berjuang bersamanya. Bulan Juni 1919, partner Bruno Filippi dalam jurnal anarkis individualis, Iconoclasta!, bersembunyi di dalam sebuah gubuk di negeri-negeri dekat kota Sarzana. Seorang petani mengatakan kepada polisi tentang keberadaannya dan Novatore dihukum penjara 10 tahun, tapi dilepaskan dalam sebuah amnesti besar-besaran beberapa bulan kemudian. Awal tahun 1920 Italia dikuasai oleh fasisme. Dia memutuskan untuk menjalankan kegiatannya di bawah tanah dan pada tahun 1922 dia bergabung dengan sebuah geng perampok terkenal yang menjadi inspirasi bagi banyak anarkis, Sante Pollastro.
Novatore terbunuh dalam sebuah penyergapan oleh carabinieri di Teglia, dekat Genoa, pada tanggal 29 November 1922 ketika dia sedang bersama Pollastro. Pollastro sendiri berhasil melarikan diri. Pada jasad Novatore detektif menemukan beberapa dokumen palsu, sebuah senapan dengan dua magasin terisi penuh, sebuah granat tangan dan sebuah cincin dengan tempat untuk mengisikan sesuatu yang berisi sianida berdosis mematikan

Amorfati : Cinta dan Anarki

Aku bersamamu di sini, di negara ini, negara yang akan selalu siap mencekik tanpa membiarkan kita untuk benar-benar terjaga.
Aku bersamamu di sini, di bumi ini, bumi dengan segala kegaduhan yang semakin panas dan tiada henti diperkosa.
Aku bersamamu di sini, berbagi tragedi dan resah yang kebingungan menemukan muaranya.
Aku bersamamu, berusaha tetap menjaga kesadaran dan ingatan akan orang-orang yang mati, orang-orang yang dilupakan atau orang-orang yang tak dianggap ada.
Bukan untuk terjebak dalam distopia masa lalu, namun kita ada untuk membuktikan bahwa perlawanan tidak selesai hanya dengan paranoia yang dicipta penguasa.
Kita tak lagi percaya dongeng, di mana seorang eskapis bercerita tentang perubahan yang jatuh dari langit ketujuh menjelma kerangkeng agama.
Kita tak lagi percaya rayuan, ludahi mereka yang berkata pemilihan umum dapat menyelesaikan problematika.
Kita bersama, aku dan kamu, tanpa vanguard dan siap menginjak kompromi sebagai konsekuensi akhir dari omong kosong istana.
Kita bersama, akan tumbuh tua atau mati diujung moncong senjata.
Namun, kita bersama, untuk membuktikan bahwa kehidupan harus kembali direbut bukan hanya dengan menikmati ilusi seraya menyerap karbon dioksida.
Rasa takut mungkin masih berdiam dikepala, namun kita bersama, setidaknya kita masih mampu menembus malam walau dibantu narkotik dari Romania.
Dunia punya luka yang sama, seorang anak mengatakannya dengan tangis di Papua.
Kapitalisme selalu menampar muka, sesekali dengan halus agar kita dirantai tak berdaya.
Bergelut di tengah masyarakat konsumer tak pernah semudah mengutuk rutinitas urban yang dipecundangi tarikan asap ganja.
Namun yang penting, ialah kita masih bersama.
Mereka di sana, bersiap membungkam kata dan mematahkan genggaman dengan kecewa yang dipaksa laiknya Sisifus yang dihukum hingga ditelan masa.
Mereka di sana, membentuk barikade dengan tembakan gas air mata dan tersenyum melalui layar kaca.
Mereka ingin kita mati sia-sia, namun kita bersama, melawan mereka yang menyebut kebebasan adalah dosa.
Mungkin suatu saat kita akan berpisah, namun setidaknya, kita pernah bersama.
Berusaha tak mengindahkan hukum yang lebih terlihat seperti lelucon ciri khas Negara dunia ketiga.
Jika suatu hari nanti kita berpisah, biarlah, setidaknya kita pernah bersama untuk mempecundangi hedonisme dan anomie dari selamanya.

Biarkan kita tetap berdiri, dibarisan yang sama meski tak lagi bergandeng tangan dalam abstraksi cinta.
Biarkan kita saling melukiskan kebebasan dan perubahan dengan darah dan mengeja nostalgia