Apa Itu Anarko Pasifis?

THREAD : Apa Itu Anarko Pasifis?
SUBJEK : Anarko Pasifis
TUJUAN : Untuk Mengetahui Apa Itu Anarko-Pasifis
Tulisan diambil dari : Anarkis.org

pasifis telah ada cukup lama dalam anarkisme, dengan Leo Tolstoy sebagai figur utamanya. Aliran ini biasa disebut “anarko pasifisme” (term “anarkis anti kekerasan” kadang-kadang digunakan, namun disayangkan karena term ini menunjukkan bahwa gerakan-gerakan lainnya bersifat “kejam”, dan itu tidak benar!). Serikat anarkisme dan pasifisme dipengaruhi oleh gagasan dan argumentasi fundamental mengenai anarkisme. Bagaimanaun juga kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau yang merugikan, merupakan sarana kunci yang merusak kebebasan individu. Seperti yang ditunjukkan oleh Peter Marshall, “karena kaum anarkis menghargai kebebasan individu, dalam waktu yang lama, nilai-nilai anarkis menunjukkan sifat anti kekerasan dan bukan kekerasan.” (Demanding The Impossible, hal 637) Malatesta bahkan lebih eksplisit lagi dalam tulisannya, bahwa “bagian utama dari anarkisme adalah pemindahan kekerasan dari hubungan manusia” dan bahwa anarkis “melawan kekerasan”. (Life and Ideas, hal 53)

Namun, meski banyak kaum anarkis yang menolak kekerasan dan menyatakan pasifisme, pada umumnya, gerakan secara esensial tidak bersifat pasifistis (dalam artian melawan semua bentuk kekerasan setiap saat). Anarkisme anti militer, malah melawan kekerasan negara yang terorganisir, namun demikian mengakui bahwa ada perbedaan penting antara kekerasan penindas dengan kekerasan tertindas. Hal ini menjelaskan mengapa gerakan anarkis selalu meluangkan banyak waktu dan energi untuk melawan mesin militer dan perang kapitalis, sementara diwaktu yang sama mendukung dan mengorganisir perlawanan bersenjata melawan penindasan (seperti dalam kasus pasukan Makhnovist selama revolusi Rusia yang melawan baik pasukan putih maupun merah serta milisi-milisi anarkis yang diorganisir untuk melawan kaum fasis selama revolusi Spanyol– lihat bagian A.5.4 dan A.5.6 dengan berturut-turut).
Dalam hal anti kekerasan, seperti yang sudah-sudah, gerakan dibagi antara garis individualis dan sosial. Sebagian besar kaum anarkis individualis mendukung taktik tanpa kekerasan terhadap perubahan sosial seperti halnya kaum mutualis. Namun, anarkisme individualis tidak bersifat pasifis seperti itu, karena banyak juga yang mendukung gagasan kekerasan dalam mempertahankan diri melawan serangan. Sebagian besar kaum anarkis sosial, di sisi lain, benar-benar mendukung penggunaan kekerasan revolusioner, mereka benar-benar memegang teguh pendapat bahwa paksaan fisik akan diperlukan untuk merobohkan kekuasaan yang telah berurat akar dan untuk melawa serangan negara serta kapitalis (meski Bart de Ligt yang menulis karya klasik pasifis, The Conquest of Violence, adalah seorang anarko sindikalis). Seperti yang dikatakan Malatesta, kekerasan, meski “jahat” dapat dibenarkan hanya jika diperlukan untuk mempertahankan diri seseorang dan lainnya dari kekerasan” dan bahwa “seorang budak selalu dalam keadaan bertahan dan akibatnya kekerasan yang dilakukannya untuk melawan majikan, penindas, secara moral selalu dapat dibenarkan.” (op.cit., hal 55, 53-54) Terlebih lagi, mereka menekankan bahwa, menggunakan kata-kata Bakunin, karena penindasan sosial “lebih berasal dari pengaturan dan keadaan sosial bukannya individu”, kaum anarkis bertujuan untuk “menghancurkan keadaan dan segala sesuatunya dengan kejam” dan bukan orang-orangnya, karena tujuan revolusi anarkis adalah untuk berakhirnya kelas-kelas yang memiliki hak-hak istimewa “bukan sebagai individu melainkan sebagai kelas.” (dikutip oleh Ricard B. Saltman, The Social and Plitical Thought of Michael Bakunin, hal 121, 124, 122)
Tentu saja, masalah kekerasan secara relatif tidak penting bagi sebagian besar kaum anarkis, karena mereka tidak mengagungkannya dan berpikir untuk meminimalkannya selama revolusi atau perjuangan sosial apapun. Semua anarkis sepakat dengan anarko sindikalis pasifis Belanda, Bart de Ligt, ketika ia menyatakan bahwa “kekerasan dan peperangan yang merupakan karakteristik dunia kapitalis tidak sejalan dengan kebebasan individu, yang merupakan misi bersejarah kelas-kelas yang tereksploitasi. Semakin besar kekerasan, semakin lemah revolusi, bahkan di manapun kekerasan secara sengaja dijadikan sarana revolusi.” (The Conquest of Violence, hal 75).
Begitu juga semua anarkis sepakat dengan de Ligt, menggunakan judul salah satu bab dalam bukunya, “The Absurdity of Bouergeois Pasifism.” Bagi de Ligt, dari semua anarkis, kekerasan inhern dalam sistem kapitalis dan usaha apapun untuk membuat kapitalisme bersifat pasif akan mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan, di pihak lain, perang seringkali hanyalah sebuah kompetisi ekonomi yang dilakukan dengan cara lain. Bangsa-bangsa seringkali berperang ketika menghadapi krisis ekonomi, apa yang tak dapat mereka peroleh dalam perjuangan ekonomi akan berusaha didpatkan melalui konflik. Di sisi lain, “kekerasan sangat diperlukan dalam masyarakat modern… (karena) tanpa itu kelas berkuasa akan benar-benar kesulitan mempertahankan posisi istimewanya yang terkait dengan massa yang dieksploitasi di tiap-tiap negara. Angkatan bersenjata digunakan pertama dan terutama untuk mengendalikan para pekerja… ketika mereka tidak puas.” (Bart de Ligt, op.cit., hal 62) Selama negara dan kapitalisme ada, kekerasan tak dapat dielakkan dan sehingga, bagi kaum anarko pasifis, pasifis yang konsisten pastilah seorang anarkis, sama halnya seorang anrkis yang konsisiten pastilah seorang pasifis.
Bagi kaum anarkis yang bukan pasifis, kekerasan merupakan sesuatu yang sangat disayangkan namun tak dapat dihindari sebagai hasil dari penindasan dan eksploitasi, sekaligus sebagai satu-satunya sarana yang digunakan agar kelas-kelas istimewa yang memiliki hak-hak istimewa meninggalkan kekuasaan dan kekayaan mereka. Mereka yang berkuasa jarang menyerahkan kekuasaannya, sehingga harus dipaksa. Karena itu, kebutuhan akan kekerasan “transisional untuk mengakhiri kekerasan yang jauh lebih besar, dan permanan, yang menyebabkan mayoritas umat manusia berada dalam perbudakan.” (Malatesta, op.cit., hal 55) Berkonsentrasi pada isu kekerasan melawan anti kekerasan merupakan pengabaian isu sesungguhnya, yaitu bagaimana kita mengubah masyarakat menjadi lebih baik. Seperti pendapat Alexander Berkman, kaum aanarkis yang pasifis ini mengacaukan isu, seperti halnya mereka yang berpikir bahwa ”menyingsingkan baju untuk kerja sama dengan bekerjaa itu sendiri.” Sebaliknya, “bagian perjuangan dalam revolusi hanyalah menyingsingkan bajumu semata-mata. Tugas aktual yang nyata ada di depan.” (ABC of Anarchism, hal 40) Malah, sebagian besar revolusi dan perjuangan sosial secara relatif berawal dengan damai (melalui pemogokan, pendudukan, dan lain-lain) dan hanya diubah ke dalam kekerasan ketika mereka yang berkuasa mencoba mempertahankan posisi mereka (contoh klasik mengenai hal ini adalah peristiwa di Italia, tahun 1920, ketika terjadi pendudukan pabrik-pabrik oleh para pekerjanya yang kemudian diikuti dengan teror fasis–lihat bagian A.5.5)
Seperti yang dituliskan diatas, semua anarkis anti militer dan melawan mesin militer (dan juga industri “pertahanan”) seperti halnya perang negara / kapitalis (meski ada beberapa anarkis seperti Rudolf Rocker dan Sam Dolgoff, yang mendukung pihak kapitalis anti fasis selama perang dunia kedua sebagai iblis yang tak terlalu jahat). Pesan anti mesin perang dari para anarkis dan anarko sindikalis disebar luaskan jauh sebelum perang dunia pertama dimulai, dengan kaum sindikalis dan anarkis di Britania dan Amerika Utara yang mencetak kembali leaflet CGT Perancis yang mendorong serdadu agar tidak mematuhi perintah dan tidak menekan para pekerja yang mogok. Emma Goldman dan Alexander Berkman ditangkap dan dideportasi dari Amerika karena mengorganisir “No-Conscription League”di tahun 1917, sementara itu banyak kaum anarkis Eropa yang dipenjara karena menolak bergabung dengan angkatan bersenjata di perang dunia pertama dan kedua.Kaum anarko sindikalis yang terpengaruh IWW dihancurkan oleh gelombang represi pemerintah yang kejam berkaitan dengan ancaman organisasi dan pesan anti perang yang ditunjukkan pada elit-elit berkuasa yang mendukung perang. Yang lebih baru lagi, kaum anarkis, (termasuk orang-orang seperti Noam Comsky dan Paul Goodman) aktif dalam gerakan perdamaian seperti memberikan kontribusi pada perlawanan terhadap wajib militer. Kaum anarkis ikut berperan aktif dalam melawan perang, seperti perang Vietnam, perang Falklands, seperti juga perang Teluk (termasuk, di Italia, membantu mengorganisir pemogokan sebagai protes melawannya). Dan selama konflik terakhir ini, ketika banyak kaum anarkis meneriakkan slogan “tak ada perang selain perang kelas” yang dengan manisnya menyimpulkan perlawann kaum anarkis pada perang–yaitu konsekuensi kejam dari sistem kelas, yang di dlamnya kelas-kelas tertindas diberbagai negara saling membunuh demi kekuasaan dan keuntungan penguasa mereka. Daripada ikut ambil bagian dalam pembunuhan massal yang terorganisir ini, kaum anarkis mendorong kaum pekerja untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri dari pada kepentingan majikannya:
“Daripada sekedar menghindari kompromi; memperdalam perbedaan antara kaum kapitalis dan budak upaahn, antara penguasa dan yang dikuasai; mengajarkan pengambilalihan kepemilikan pribadi dan destruksi negara sebagai satu-satunya cara menjamin persaudaraan di antara manusia, serta keadilan dan kebebasan bagi semuanya; dan kita harus siap menuntaskan semua ini.” (Malatesta, op.cit., hal. 251)
[harus dicatat di sini bahwa pernyataan Malatesta ditulis untuk melawan Peter Krooptkin yang, untuk alasan yang hanya ia ketahui sendiri, menolak semua yang argumen Malatesta selama beberapa dekade dan mendukung aliansi dalam perang dunia pertama sebagai iblis yang tak terlalu jahat melawan otoritarianisme Jerman dan imerialisme. Tentu saja, seprti yang ditunjukkan Malatesta, “semua pemerintah dan kelas kapitalis” memiliki “perlakuan buruk… terhadap pekerja dan pemberontak di negara mereka.” (op.cit., hal 46)]
Jadi, ketertarikan pasifisme bagi kaum anarkis merupakan hal yang jelas. Kekerasan bersifat otoriter dan koersif, sehingga penggunaannya kontradiksi dengan prinsip-prinsip kaum anarkis. Inilah sebabnya mengapap kaum anarkis sepakat dengan Malatesta ketika ia berpendapat bahwa “kita berprisip melawan kekerasan untuk alasan ini berharap agar perjuangan sosial dilakukan semanusiawi mungkin.” (op.cit., hal 57) Sebagian besar, jika tidak semua, kaum anarkis yang bukan pasifis sepakat dengan pasifis anarkis ketika mereka menyatakan bahwa kekerasan seringkali dapat bersifat tidak produktif, mengasingkan orang dan memberi alasan bagi negara untk menekan gerakan anarkis dan gerakan rakyat untk perubahan sosial. Semua kaum anarkis mendukung aksi langsung tanpa kekerasan dan pembangkangan sipil, yang seringkali memberikan jalan yang lebih baik menuju jalan radikal.
Jadi, sebagai kesimpulan, tidak terlalu banyak kaum anarkis yang benar-benar pasifis. Sebagian besar menerima penggunaan kekerasan sebagai kejahatan yang diperlukan dan pembelaan tetapi diusahakan meminimalkan penggunaannya. Semua sepakat bahwa revolusi merupakan kekerasan yang terlembagakan dan hanya akan memunculkan negara kemmbali dalam suattu bentuk baru. Namun, mereka berpendapat bahwa menghancurkan kekuasaan atau menggunakan kekerasan untuk melawan kekerasan bukanlah tindakan otoriter. Karena itu, meski sebagian besar kaum anarkis bukan pasifis, sebagian besar menolak kekerasan kecuali dalam hal mempertahankan diri dan bahkan berusaha meminimalkan.

-RohanOV

Anarkisme Melawan Primus Inter Pares

ANARKISME MELAWAN PRIMUS INTER PARES
Apakah gelar ini merupakan kodrat manusia? Apakah tidak ada anarkis yang pertama diantara yang sederajat?

Primus Inter Pares, dalam bahasa Indonesia adalah : yang pertama di antara yang sederajat atau yang pertama di antara yang setara. Frasa ini dipakai sebagai gelar kehormatan kepada seseorang yang secara formal setara, tetapi mendapat kehormatan secara tidak resmi. Pada umumnya, gelar ini diberikan kepada senior dalam sebuah jabatan. Asal mulanya berasal dari Romawi, dimana princeps senatus senat romawi mendapat gelar non resmi ini karena dia diizinkan untuk berbicara pertama dalam debat. Pada perjalanannya Konstantinus yang Agung juga mendapat gelar ini. Namun, gelar ini juga seringkali digunakan secara ironis. Seperti pada kasus Konstatinus, para kaisar romawi sebenarnya kurang tepat mendapat gelar ini. Terutama karena posisi kaisar sudah melanggar prinsip “diantara yang setara” dengan kekuasaannya. Dan pada akhirnya, gelar ini juga banyak dipakai oleh figur modern seperti Ketua Federal Reserve, perdana menteri, presiden Federal Swiss, dan lain-lain. Gelar ini pada akhirnya menunjukkan status seseorang yang dianggap lebih tinggi diantara rekan-rekan nya.

Lalu, apa masalahnya dengan Anarkisme?

Masalah utama adalah kesalahpahaman dari makna frasa ini. Dalam masyarakat saat ini, frasa ini sering dipakai motivator dalam menunjukkan karakter kepemimpinan. Frasa ini menjadi lazim untuk menyebut seseorang yang menjadi tokoh kunci dalam sebuah kelompok. Dan lucunya, frasa ini dianggap sebagai legitimasi bahwa didalam sebuah kelompok, ada satu individu yang menjadi pemimpin karena kodrat yang dijalaninya. Tentu pemikiran ini konyol ketika melihat bagaimana frasa ini muncul. Frasa ini tidak pernah lahir sebagai legitimasi adanya hierarki dimana dalam sebuah kelompok ada satu orang yang lebih unggul dibanding yang lain. Frasa ini lahir untuk memberi legitimasi terhadap senioritas dalam sebuah hierarki. Karena frasa ini digunakan banyak motivator dan leadership trainer, maka banyak yang menganggap primus inter pares adalah kodrat manusia. Pemikiran yang demikian tidak dilandasi oleh fakta ilmiah, dan sebaik-baiknya hanya bagian kecil dari sebuah kajian psikologi.

Tapi, apakah tidak ada posisi primus inter pares dalam anarkisme?

Kita harus kembali pada pemaknaan dari frasa ini. Dalam sejarah munculnya, frasa ini bukan menunjukkan posisi otoritarian dalam masyarakat. Hanya sekedar posisi informal sebagai bentuk penghargaan. Pendekatan dari frasa ini pun bisa ditarik kembali pada masyarakat berburu dan meramu. Hanya pada era kekaisaran Romawi hingga saat ini, frasa ini diidentikkan pada posisi superior. Anarkisme menolak adanya hierarki dan otoritarian yang bersifat mengatur individu lain. maka, primus inter pares sangat berlawanan dengan konsep anarkisme. Namun, jika kita mencoba cocoklogi dalam menemukan kondisi serupa dalam masyarakat anarkis, kita bisa melihat ungkapan Bakunin ; “Apakah artinya saya lantas menolak semua otoritas? Kesimpulan ini jauh dari pemikiran saya. Dalam hal sepatu, saya memilih otoritas pembuat sepatu; Soal rumah, kanal, atau kereta api, saya berkonsultasi dengan otoritas arsitek atau insinyur. Untuk pengetahuan atau pengetahuan khusus tersebut, saya menerapkannya sesuai otoritasnya yang memahami hal tersebut. Tapi ini tidak berarti saya mengizinkan para pembuat sepatu maupun arsitek atau insinyur tersebut memaksakan otoritasnya pada saya.”

Dari ungkapan ini, sebenarnya ada posisi “terdepan” dalam masyarakat anarkis. Namun bukan posisi yang bersifat mengatur. Pembuat sepatu bisa dipandang sebagai primus inter pares dalam urusan sepatu. Teknisi dapat dipandang sebagai primus inter pares dalam urusan teknik. Namun, bukan berarti mereka bisa mengatur individu lain diluar relasi mereka. Seorang pembuat sepatu memiliki otoritas untuk membuat sepatu bagi seseorang, Namun dia tidak berhak menentukan apa yang harus dikenakan seseorang kecuali urusan teknik dalam produksi sepatu.

Inti dari artikel ini adalah; kita harus menerima keunikan seseorang, terutama dalam proses relasi timbal balik. Bukan karena asas kebebasan, kita harus melupakan bahwa hubungan timbal balik juga termasuk transfer ilmu. Pada saatnya, ketika sudah tidak ada spesialisasi atau seluruh produksi telah di-automasi-kan, maka posisi ini pun gugur; Yang kedua, kita harus ingat bahwa apa yang kita ungkapkan harus memiliki dasar. Jangan hanya karena mendengar kata asing yang terlihat keren, kita lantas menganggap sebuah frasa adalah fakta ilmiah. Seperti contoh, anarka bucinisme terlihat keren, namun tidak lebih dari ungkapan para admin BV terhadap kondisi asmara admin Ameyuri Ringo.

-camarhitam-

Mengintip Lebih Dalam Tentang Anarki Dan Cinta Dalam Perspektif Errico Malatesta

Sesuatu yang tidak mendapat perhatian cukup adalah peran cinta dalam politik anarkis. Cinta adalah tema yang berulang dalam tulisan-tulisan anarkis Italia Errico Malatesta.
Pertama, cinta adalah bagian integral dari visi Malatesta tentang masyarakat anarkis dan tujuan yang diperjuangkan oleh kaum anarkis. Malatesta mengklaim bahwa kaum anarkis “mencari kemenangan kebebasan dan cinta.” (Malatesta 2015, p60) Ia menulis bahwa kaum anarkis “bertujuan untuk kebaikan semua, penghapusan semua penderitaan dan perluasan semua kesenangan yang bisa bergantung pada manusia, tindakan kami bertujuan untuk mencapai kedamaian dan cinta di antara semua manusia, kami membidik masyarakat yang baru dan lebih baik, pada umat manusia yang lebih berharga dan lebih bahagia. ”(Ibid, p15)
Malatesta berpendapat bahwa, “Karena semua penyakit masyarakat saat ini memiliki asal-usul dalam perjuangan antara laki-laki, dalam mencari kesejahteraan melalui upaya sendiri dan untuk diri sendiri dan terhadap semua orang, kami ingin menebus kesalahan, mengganti kebencian dengan cinta, persaingan dengan solidaritas, pencarian individu untuk kesejahteraan pribadi melalui kerja sama persaudaraan untuk kesejahteraan semua orang, penindasan dan pemaksaan oleh kebebasan, kebohongan agama dan kebohongan ilmiah dengan kebenaran. ”(Ibid, p19)
Kedua, Malatesta mengatakan bahwa ia adalah seorang anarkis karena keinginannya lebih besar untuk masyarakat yang didasarkan pada cinta. Dia menulis, “Saya seorang anarkis karena bagi saya kelihatannya anarki akan berkorespondensi lebih baik daripada cara lain kehidupan sosial, dengan keinginan saya untuk kebaikan semua, dengan aspirasi saya menuju masyarakat yang merekonsiliasi kebebasan setiap orang dengan kerja sama dan cinta di antara laki-laki . “(Ibid, p18)
Ketiga, Malatesta berpendapat bahwa cinta sangat penting bagi politik anarkis karena emosi yang memotivasi kita untuk tidak menindas orang lain dan bertindak untuk kebaikan orang lain. Dia menulis, “Menurut definisi, seorang anarkis adalah dia yang tidak ingin ditindas dan tidak ingin menjadi dirinya sendiri sebagai penindas, yang menginginkan kesejahteraan, kebebasan, dan perkembangan terbesar bagi semua manusia. Ide-idenya, keinginannya berasal dari perasaan simpati, cinta, dan rasa hormat terhadap kemanusiaan: perasaan yang harus cukup kuat untuk membujuknya agar menginginkan kesejahteraan orang lain sama seperti keinginannya, dan untuk melepaskan keuntungan pribadi itu. Pencapaian yang mana, akan melibatkan pengorbanan orang lain. Jika tidak demikian, mengapa ia menjadi musuh penindasan dan tidak berusaha menjadi penindas?” (Ibid, p16)
Malatesta membuat poin yang sama ini secara lebih rinci ketika ia menulis, “Terlepas dari gagasan kami tentang negara politik dan pemerintah, dan mereka yang berada di jalan terbaik untuk memastikan semua orang memiliki akses bebas ke alat produksi dan menikmati hal-hal baik dalam hidup, kita adalah kaum anarkis karena perasaan yang merupakan kekuatan pendorong bagi semua reformator sosial yang tulus, dan tanpanya anarkisme kita akan melakukannya bisa bohong atau hanya omong kosong. Perasaan ini adalah cinta umat manusia, dan fakta berbagi penderitaan orang lain. Jika saya makan saya tidak bisa menikmati apa yang saya makan jika saya pikir ada orang yang mati kelaparan, jika saya membeli mainan untuk anak saya dan dibuat senang oleh kesenangannya, kebahagiaan saya segera pahit melihat anak-anak bermata lebar berdiri di dekat jendela toko yang bisa dibuat senang dengan mainan murah tetapi yang tidak bisa memilikinya, jika saya menikmati diri sendiri, roh saya sedih segera setelah saya ingat bahwa ada sesama makhluk malang yang mendekam di penjara; jika saya belajar, atau melakukan pekerjaan yang saya sukai, saya merasa menyesal dengan pemikiran bahwa ada begitu banyak yang lebih terang daripada saya yang wajib menyia-nyiakan hidup mereka untuk tugas-tugas yang melelahkan, seringkali tidak berguna, atau berbahaya.
Jelas, egoisme murni; yang lain menyebutnya altruisme, sebut apa yang Anda sukai; tetapi tanpa itu, tidak mungkin menjadi anarkis sejati. Intoleransi penindasan, keinginan untuk bebas dan untuk dapat mengembangkan kepribadian seseorang hingga batas maksimalnya, tidak cukup untuk membuat seseorang menjadi anarkis. Cita-cita menuju kebebasan tanpa batas, jika tidak diliputi oleh cinta kepada umat manusia dan oleh keinginan bahwa semua orang harus menikmati kebebasan yang setara, dapat menciptakan pemberontak yang jika mereka cukup kuat, ia segera menjadi pengeksploitasi dan tiran, tetapi tidak pernah menjadi anarkis.” (Ibid, p17)
Keempat, Malatesta mengklaim bahwa cinta memotivasi orang-orang anti-otoriter secara umum. Dia berbicara tentang non-anarkis yang memiliki semangat anarkis, yang dia maksudkan, “Sentimen manusiawi yang mendalam, yang bertujuan untuk kebaikan semua orang, kebebasan dan keadilan bagi semua orang, solidaritas dan cinta di antara orang-orang; yang bukan merupakan karakteristik eksklusif dari kaum anarkis yang menyatakan diri, tetapi mengilhami semua orang yang memiliki hati yang murah hati dan pikiran yang terbuka.”
Dari sini jelas bahwa Malatesta mencintai cinta, dan baginya anarki adalah cinta yang begitu luas akan setiap makna yang terkandung didalamnya.
-Anonim

Sekelumit Kisah Renzo Novatore

Renzo Novatore adalah nama pena dari Abele Rizieri Ferrari, seorang penyair individualis anarkis, ilegalis, dan antifasis Italia. Lelaki yang lahir pada 12 Mei 1890 ini adalah juga seorang filsuf sekaligus militan, yang sekarang terkenal karena publikasi bukunya Toward Creative Nothing serta hubungannya dengan futurisme sayap kiri. Max Stirner, Nietzsche, George Palante, Wilde, Henrik Ibsen, Schopenhauer, dan Charles Baudelaire merupakan orang-orang yang turut memperkaya pemikiran lelaki yang meninggal pada tahun 1922 ini.
Pada masa kecilnya, Renzo Novatore tak mampu menyesuaikan diri dengan disiplin sekolah dan keluar pada tahun pertamanya. Ketika dia bekerja di peternakan ayahnya, dia belajar sendiri dengan penekanan pada puisi dan filsafat. Di sekitar tempat tinggalnya, peyair yang lahir di Arcola, Liguria, Italia ini, dikelilingi oleh scene para anarkis yang sedang bersemangat, di mana kemudian dia membangun relasi yang dekat dengan mereka.
Kemudian, dia menemukan Errico Malatesta, Peter Kropotkin, Hendrik Ibsen, dan juga Nietzsche yang sering dia kutip, terutama Max Stirner. Pada tahun 1908 dia merengkuh individualis anarkis. Di tahun 1910, dia menjadi tersangka atas pembakaran gereja lokal dan menghabiskan tiga bulan di penjara, tapi partisipasinya dalam pembakaran tersebut tak pernah terbuktikan. Setahun kemudian, dia melarikan diri untuk beberapa bulan karena polisi mencarinya atas tuduhan pencurian dan perampokan. 30 September 1911, polisi menangkapnya karena melakukan vandalisme. Penyair yang juga seorang filsuf sekaligus militan ini, membenarkan penolakan atas kerja. Dia berpikir, dalam filosofi personal kehidupannya, bahwa dia punya hak merampas apa-apa saja dari orang-orang kaya untuk kebutuhan hariannya, dan menggunakan cara-cara kekerasan bukanlah sebuah masalah baginya.
Di tahun 1914, dia mulai menulis untuk koran anarkis. Dia telah membuat draf pada tahun 1912 tapi tidak selesai untuk alasan yang tidak diketahui. Tahun-tahun itu juga adalah momen di mana Perang Besar (Great War) semakin mendekati. Dia desersi dari kesatuannya pada 26 April 1918 dan dihukum mati oleh pengadilan militer atas desersi serta pengkhianatannya pada tanggal 31 Oktober. Dia melarikan diri dan meninggalkan desanya, sambil melakukan propaganda untuk desersi dari tentara dan melakukan pemberontakan bersenjata melawan negara.
Novatore terlibat dalam kolektif anarko-futuris di La Spezia di mana dia terlibat aktif bersama Auro d’Arcola dalam kelompok antifasis militan, Arditi del Popolo. Di sana dia sangat dekat dengan Enzo Martucci dan Bruno Flippi. Ayah dari dua anak ini menulis banyak artikel di koran-koran anarkis (Cronaca Libertaria, Il Libertario, Iconoclasta!, Gli Scamiciati, Nichilismo, Pagine Libere) di mana dia berdebat dengan para anarkis lainnya (di antaranya adalah Carnillo Berneri). Dia juga mempublikasikan sebuah majalah, Vertice, yang sayangnya menghilang setelah menerbitkan beberapa artikel saja.
Pada bulan Mei 1919, kota La Spezia berada di bawah kontrol dari kelompok yang mengklaim dirinya Komite Revolusioner dan dia berjuang bersamanya. Bulan Juni 1919, partner Bruno Filippi dalam jurnal anarkis individualis, Iconoclasta!, bersembunyi di dalam sebuah gubuk di negeri-negeri dekat kota Sarzana. Seorang petani mengatakan kepada polisi tentang keberadaannya dan Novatore dihukum penjara 10 tahun, tapi dilepaskan dalam sebuah amnesti besar-besaran beberapa bulan kemudian. Awal tahun 1920 Italia dikuasai oleh fasisme. Dia memutuskan untuk menjalankan kegiatannya di bawah tanah dan pada tahun 1922 dia bergabung dengan sebuah geng perampok terkenal yang menjadi inspirasi bagi banyak anarkis, Sante Pollastro.
Novatore terbunuh dalam sebuah penyergapan oleh carabinieri di Teglia, dekat Genoa, pada tanggal 29 November 1922 ketika dia sedang bersama Pollastro. Pollastro sendiri berhasil melarikan diri. Pada jasad Novatore detektif menemukan beberapa dokumen palsu, sebuah senapan dengan dua magasin terisi penuh, sebuah granat tangan dan sebuah cincin dengan tempat untuk mengisikan sesuatu yang berisi sianida berdosis mematikan

Amorfati : Cinta dan Anarki

Aku bersamamu di sini, di negara ini, negara yang akan selalu siap mencekik tanpa membiarkan kita untuk benar-benar terjaga.
Aku bersamamu di sini, di bumi ini, bumi dengan segala kegaduhan yang semakin panas dan tiada henti diperkosa.
Aku bersamamu di sini, berbagi tragedi dan resah yang kebingungan menemukan muaranya.
Aku bersamamu, berusaha tetap menjaga kesadaran dan ingatan akan orang-orang yang mati, orang-orang yang dilupakan atau orang-orang yang tak dianggap ada.
Bukan untuk terjebak dalam distopia masa lalu, namun kita ada untuk membuktikan bahwa perlawanan tidak selesai hanya dengan paranoia yang dicipta penguasa.
Kita tak lagi percaya dongeng, di mana seorang eskapis bercerita tentang perubahan yang jatuh dari langit ketujuh menjelma kerangkeng agama.
Kita tak lagi percaya rayuan, ludahi mereka yang berkata pemilihan umum dapat menyelesaikan problematika.
Kita bersama, aku dan kamu, tanpa vanguard dan siap menginjak kompromi sebagai konsekuensi akhir dari omong kosong istana.
Kita bersama, akan tumbuh tua atau mati diujung moncong senjata.
Namun, kita bersama, untuk membuktikan bahwa kehidupan harus kembali direbut bukan hanya dengan menikmati ilusi seraya menyerap karbon dioksida.
Rasa takut mungkin masih berdiam dikepala, namun kita bersama, setidaknya kita masih mampu menembus malam walau dibantu narkotik dari Romania.
Dunia punya luka yang sama, seorang anak mengatakannya dengan tangis di Papua.
Kapitalisme selalu menampar muka, sesekali dengan halus agar kita dirantai tak berdaya.
Bergelut di tengah masyarakat konsumer tak pernah semudah mengutuk rutinitas urban yang dipecundangi tarikan asap ganja.
Namun yang penting, ialah kita masih bersama.
Mereka di sana, bersiap membungkam kata dan mematahkan genggaman dengan kecewa yang dipaksa laiknya Sisifus yang dihukum hingga ditelan masa.
Mereka di sana, membentuk barikade dengan tembakan gas air mata dan tersenyum melalui layar kaca.
Mereka ingin kita mati sia-sia, namun kita bersama, melawan mereka yang menyebut kebebasan adalah dosa.
Mungkin suatu saat kita akan berpisah, namun setidaknya, kita pernah bersama.
Berusaha tak mengindahkan hukum yang lebih terlihat seperti lelucon ciri khas Negara dunia ketiga.
Jika suatu hari nanti kita berpisah, biarlah, setidaknya kita pernah bersama untuk mempecundangi hedonisme dan anomie dari selamanya.

Biarkan kita tetap berdiri, dibarisan yang sama meski tak lagi bergandeng tangan dalam abstraksi cinta.
Biarkan kita saling melukiskan kebebasan dan perubahan dengan darah dan mengeja nostalgia