Anarkisme Melawan Primus Inter Pares

ANARKISME MELAWAN PRIMUS INTER PARES
Apakah gelar ini merupakan kodrat manusia? Apakah tidak ada anarkis yang pertama diantara yang sederajat?

Primus Inter Pares, dalam bahasa Indonesia adalah : yang pertama di antara yang sederajat atau yang pertama di antara yang setara. Frasa ini dipakai sebagai gelar kehormatan kepada seseorang yang secara formal setara, tetapi mendapat kehormatan secara tidak resmi. Pada umumnya, gelar ini diberikan kepada senior dalam sebuah jabatan. Asal mulanya berasal dari Romawi, dimana princeps senatus senat romawi mendapat gelar non resmi ini karena dia diizinkan untuk berbicara pertama dalam debat. Pada perjalanannya Konstantinus yang Agung juga mendapat gelar ini. Namun, gelar ini juga seringkali digunakan secara ironis. Seperti pada kasus Konstatinus, para kaisar romawi sebenarnya kurang tepat mendapat gelar ini. Terutama karena posisi kaisar sudah melanggar prinsip “diantara yang setara” dengan kekuasaannya. Dan pada akhirnya, gelar ini juga banyak dipakai oleh figur modern seperti Ketua Federal Reserve, perdana menteri, presiden Federal Swiss, dan lain-lain. Gelar ini pada akhirnya menunjukkan status seseorang yang dianggap lebih tinggi diantara rekan-rekan nya.

Lalu, apa masalahnya dengan Anarkisme?

Masalah utama adalah kesalahpahaman dari makna frasa ini. Dalam masyarakat saat ini, frasa ini sering dipakai motivator dalam menunjukkan karakter kepemimpinan. Frasa ini menjadi lazim untuk menyebut seseorang yang menjadi tokoh kunci dalam sebuah kelompok. Dan lucunya, frasa ini dianggap sebagai legitimasi bahwa didalam sebuah kelompok, ada satu individu yang menjadi pemimpin karena kodrat yang dijalaninya. Tentu pemikiran ini konyol ketika melihat bagaimana frasa ini muncul. Frasa ini tidak pernah lahir sebagai legitimasi adanya hierarki dimana dalam sebuah kelompok ada satu orang yang lebih unggul dibanding yang lain. Frasa ini lahir untuk memberi legitimasi terhadap senioritas dalam sebuah hierarki. Karena frasa ini digunakan banyak motivator dan leadership trainer, maka banyak yang menganggap primus inter pares adalah kodrat manusia. Pemikiran yang demikian tidak dilandasi oleh fakta ilmiah, dan sebaik-baiknya hanya bagian kecil dari sebuah kajian psikologi.

Tapi, apakah tidak ada posisi primus inter pares dalam anarkisme?

Kita harus kembali pada pemaknaan dari frasa ini. Dalam sejarah munculnya, frasa ini bukan menunjukkan posisi otoritarian dalam masyarakat. Hanya sekedar posisi informal sebagai bentuk penghargaan. Pendekatan dari frasa ini pun bisa ditarik kembali pada masyarakat berburu dan meramu. Hanya pada era kekaisaran Romawi hingga saat ini, frasa ini diidentikkan pada posisi superior. Anarkisme menolak adanya hierarki dan otoritarian yang bersifat mengatur individu lain. maka, primus inter pares sangat berlawanan dengan konsep anarkisme. Namun, jika kita mencoba cocoklogi dalam menemukan kondisi serupa dalam masyarakat anarkis, kita bisa melihat ungkapan Bakunin ; “Apakah artinya saya lantas menolak semua otoritas? Kesimpulan ini jauh dari pemikiran saya. Dalam hal sepatu, saya memilih otoritas pembuat sepatu; Soal rumah, kanal, atau kereta api, saya berkonsultasi dengan otoritas arsitek atau insinyur. Untuk pengetahuan atau pengetahuan khusus tersebut, saya menerapkannya sesuai otoritasnya yang memahami hal tersebut. Tapi ini tidak berarti saya mengizinkan para pembuat sepatu maupun arsitek atau insinyur tersebut memaksakan otoritasnya pada saya.”

Dari ungkapan ini, sebenarnya ada posisi “terdepan” dalam masyarakat anarkis. Namun bukan posisi yang bersifat mengatur. Pembuat sepatu bisa dipandang sebagai primus inter pares dalam urusan sepatu. Teknisi dapat dipandang sebagai primus inter pares dalam urusan teknik. Namun, bukan berarti mereka bisa mengatur individu lain diluar relasi mereka. Seorang pembuat sepatu memiliki otoritas untuk membuat sepatu bagi seseorang, Namun dia tidak berhak menentukan apa yang harus dikenakan seseorang kecuali urusan teknik dalam produksi sepatu.

Inti dari artikel ini adalah; kita harus menerima keunikan seseorang, terutama dalam proses relasi timbal balik. Bukan karena asas kebebasan, kita harus melupakan bahwa hubungan timbal balik juga termasuk transfer ilmu. Pada saatnya, ketika sudah tidak ada spesialisasi atau seluruh produksi telah di-automasi-kan, maka posisi ini pun gugur; Yang kedua, kita harus ingat bahwa apa yang kita ungkapkan harus memiliki dasar. Jangan hanya karena mendengar kata asing yang terlihat keren, kita lantas menganggap sebuah frasa adalah fakta ilmiah. Seperti contoh, anarka bucinisme terlihat keren, namun tidak lebih dari ungkapan para admin BV terhadap kondisi asmara admin Ameyuri Ringo.

-camarhitam-