Pledoi kepada kawan-kawan yang dilabeli “anarkis kutu buku” dan “anarkis akademis”.

MEMBACA ≠ TERDOGMA, MENULIS ≠ MENDOGMA
Pledoi kepada kawan-kawan yang dilabeli “anarkis kutu buku” dan “anarkis akademis”.

“Anarkisme Tidak Perlu Guru, Karena Ada Di Dalam Dirimu” -Seseorang yang tanpa sengaja kulihat di beranda-

Entah bagaimana ceritanya, akhir-akhir ini saya menemukan kecenderungan baru. Dengan dalih anti dogma, banyak yang cenderung menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan. Banyak dari mereka memandang anarkisme adalah sesuatu yang tidak perlu dipelajari ataupun digurui. Dan pandangan ini menuju pada satu titik dimana kita tidak perlu belajar apapun dan percaya pada intuisi. Makin jauh, pandangan ini menjadi alasan untuk membenci seseorang yang menyampaikan pendapat ataupun teori ilmiah atas dasar doktrinasi.

Di satu sisi, saya meyetujui. Anarkisme bukanlah sebuah dogma yang harus dibaca dibawah lampu meja. Menjadi anarkis bukanlah mengamalkan nilai-nilai yang ditulis tebal dalam buku.anti dogma bukanlah dengan mengangguk-angguk takzim pada jerit berapi-api seseorang. Sebagaimana yang diungkapkan Emma Goldman “Anarkisme, pada akhirnya berarti pembebasan pikiran manusia dari dominasi reliji; pembebasan tubuh dari dominasi properti; pembebasan dari belenggu dan kekangan pemerintah.” Disini bisa kita lihat bahwa anarkisme menghindari adanya dominasi pikiran. Selain reliji, dogma pun adalah alat dominasi tersebut. Lalu, apakah ini berarti anarkisme melawan bentuk belajar, membaca, menulis, dan literasi lain?

Saya pikir tidak

Bukan berarti anarkisme melarang seseorang menjadi kutu buku. “Tidak ada yang lebih layak daripada kamu sendiri untuk menentukan bagaimana kamu hidup.” (Crimenthinc). Pada dasarnya kitalah yang berhak menentukan jalan hidup kita, termasuk dalam urusan literasi. Kita bebas untuk membaca seluruh buku yang ada di dunia, atau menutup mata dari setiap literasi yang ada. Semua kembali pada kita sendiri dan bagaimana buku menjadi kebutuhan kita. Namun, apakah tepat memandang remeh belajar terutama membaca?

Saya rasa, ada salah paham disini. Ketika kita bicara “belajar”, maka kita bicara bagaimana seseorang melakukan proses perubahan di dalam kepribadiannya. Hasil belajar ini tampak dalam tingkah laku dan kecakapan kedepan. Berarti, belajar tidak bisa disamakan dengan indoktrinasi. Belajar adalah proses personal yang memang mutlak terjadi. Otak manusia tidak pernah menyimpan memori untuk memegang sendok, maka dari itu dia perlu belajar memegang sendok. Belajar adalah bagian dari upaya kita dalam bertahan hidup. Jika kita tidak belajar membuat api, kita akan mati. Cara membuat api tidak pernah ditransfer dari orang tua ke anak lewat plasenta. Semua harus dipelajari.

Dalam “belajar” anarkisme, saya juga memandang itu bukan bentuk doktrinasi dogmatis. Dan sebaiknya tidak seperti itu sama sekali. Belajar mengenai anarkisme adalah bekal bagi kita untuk memahami anarkisme dalam setiap diri orang. Kita sedang memahami individualitas kita, dan tidak sedang menyematkan nilai-nilai dogmatis dalam alam pikir kita. Mempelajari anarkisme juga sebagai bentuk latih pada pikiran logis dan kritis. Ketika kita menemukan kata-kata seperti “ambilah roti itu”, disini pikiran kita akan bekerja untuk mempertimbangkan. Logika kita akan memahami setidaknya kapan kita harus mencuri sebuah roti. Apabila kita pandang kata itu sebagai dogma, maka kita akan mencuri roti seperti seorang nasionalis menghormati bendera. Dan, penolakan pada memahami anarkisme dan membuka diri pada literasi anarkis, saya rasa kurang tepat. Hidup yang kita jalani tetaplah bisa menjadi laboratorium dan perpustakaan kita dalam memahami anarkis. Namun, kehadiran literasi adalah cara cepat kita dalam memahami bagaimana kita hidup. Terlebih lagi, mungkin lebih dari 90% diantara kita telah terdogma secara masif sejak kecil. Seperti contoh: seksisme. Banyak diantara kita yang diajarkan laki-laki adalah manusia kuat yang mengatur perempuan. Pengulangan dogma ini di setiap kesempatan tentu akan mempengaruhi bagaimana kita berpikir sampai tingkat dasar, sampai dibawah alam sadar. Literasi anarkis menjadi cara kita, untuk sedikit-demi sedikit, melepaskan diri dari dogma mengakar itu.

Bagaimana dengan orang-orang yang gemar menulis tentang anarkisme? Misal, para admin Black Voice. Apakah mereka sedang mendogma?

Tidak juga. Meskipun semua dikembalikan pada personal. Bisa jadi mereka ingin menjadi pelopor, bisa juga karena sesederhana bernafas. Mengingat kata-kata Malatesta “Kita semua egois, mencari kepuasan sendiri. Namun kaum anarkis mendapati kepuasan terbesarnya dalam perjuangan untuk kebaikan bersama, untuk mencapai masyarakat yang di dalamnya ia (demikian) dapat menjadi saudara di antara lainnya, dan diantara orang-orang yang sehat, cerdas, terdidik, dan bahagia.” Seorang anarkis menyuarakan anarkisme dalam karya, tentu karena cita-cita membangun masyarakat yang sadar bahwa setiap manusia bisa bebas dari dogma. Menulis juga bentuk dari mutual aid, dimana seseorang yang memiliki kemampuan menulis akan menulis sebagai bentuk hubungan timbal balik, Kadang kala, alasan seseorang menulis sangat sederhana: aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah kebutuhan puncak manusia dalam segitiga kebutuhan manusia. Aktualisasi diri ini sangat sederhana, yaitu seseorang akan membutuhkan kesempatan untuk memaksimalkan penggunaan kemampuan dan potensi diri. Tujuannya adalah pemenuhan keberadaan diri (self fulfillment). Menulis adalah salah satu bentuk memenuhi kebutuhan individu, dan tidak ada yang berhak menghalanginya. Dan jika kalian merasa tulisan-tulisan anarkisme adalah pelanggaran dan gangguan terhadap individualitas, Max Stirner pun menulis.

Dan pada akhirnya, seorang anarkis berhak untuk menentukan apa yang tepat bagi dirinya. Beberapa individu lebih menikmati hidup jauh dari buku-buku berdebu, sisanya menikmati menghabiska berbagai macam buku dan ilmu didalamnya. Kita perlu selalu membangun kesadaran dalam diri, agar apa yang kita pelajari tidak berakhir sebagai dogma yang diamini dengan membabi buta. Namun, apakah kita harus separanoid itu terhadap hadirnya ilmu pengetahuan? Transfer ilmu antar idividu tetaplah menjadi bagian dari pemenuhan kebutuhan. Menulis juga menjadi bagian dari hak tiap individu untuk mengaspirasikan apa yang ada di dalam dirinya. Menghalangi atau menyerang secara verbal seseorang yang sedang belajar ataupun menulis, aku rasa itu bentuk pelanggaran pada hak individual. Dan mengenai pengetahuan dan kecerdasan, aku ingin mengingat quote Emma Goldman: “Orang-orang hanya memiliki kemerdekaan sebanyak mereka memiliki kecerdasan untuk ingin dan keberanian untuk mengambil”
BE A NERD, BE AN ANARCHIST

-camarhitam-